Tuesday, June 12, 2007

PRINSIP-PRINSIP EKONOMI ISLAM

Oleh Achyar Eldine

A. Pendahuluan

Meskipun ada kesamaan timbulnya kegiatan ekonomi, yakni disebabkan oleh adanya kebutuhan dan keinginan manusia. Namun karena cara manusia dalam memenuhi alat pemuas kebutuhan dan cara mendistribusikan alat kebutuhan tersebut didasari filosofi yang berbeda, maka timbullah berbagai bentuk sistem dan praktik ekonomi dari banyak negara di dunia. Perbedaan ini tidak terlepas dari pengaruh filsafat, agama, ideologi, dan kepentingan politik yang mendasari suatu negara penganut sistem tersebut.

Ilmu ekonomi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari perilaku manusia sebagai hubungan antara tujuan dan sarana langka yang memiliki kegunaan-kegunaan alternatif. Ilmu ekonomi adalah studi yang mempelajari cara-cara manusia mencapai kesejahteraan dan mendistribusikannya. Kesejahteraan yang dimaksud adalah segala sesuatu yang memiliki nilai dan harga, mencakup barang-barang dan jasa yang diproduksi dan dijual oleh para pebisnis.

Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana kemudian barang-barang dan jasa itu (kekayaan) itu dibagi-bagikan. Cara yang ditempuh oleh masyarakat untuk menjawab pertanyaan ini dengan menentukan sistem ekonomi yang diterapkan. Setidaknya dalam praktik ada lima sistem ekonomi yang dikenal masyarakat dunia, yakni

Kapitalisme, Sosialisme, Fasisme, Komunisme dan terakhir adalah Ekonomi Islam.



B. Kapitalisme

Faham Kapitalisme berasal dari Inggris abad 18, kemudian menyebar ke Eropa Barat dan Amerika Utara. Sebagai akibat dari perlawanan terhadap ajaran gereja, tumbuh aliran pemikiran liberalisme di negara-negara Eropa Barat. Aliran ini kemudian merambah ke segala bidang termasuk bidang ekonomi. Dasar filosofis pemikiran ekonomi Kapitalis bersumber dari tulisan Adam Smith dalam bukunya An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations yang ditulis pada tahun 1776. Isi buku tersebut sarat dengan pemikiran-pemikiran tingkah laku ekonomi masyarakat. Dari dasar filosofi tersebut kemudian menjadi sistem ekonomi, dan pada akhirnya kemudian mengakar menjadi ideologi yang mencerminkan suatu gaya hidup (way of life).

Smith berpendapat motif manusia melakukan kegiatan ekonomi adalah atas dasar dorongan kepentingan pribadi, yang bertindak sebagai tenaga pendorong yang membimbing manusia mengerjakan apa saja asal masyarakat sedia membayar "Bukan berkat kemurahan tukang daging, tukang pembuat bir, atau tukang pembuat roti kita dapat makan siang," kata Smith "akan tetapi karena mereka memperhatikan kepentingan pribadi mereka. Kita berbicara bukan kepada rasa perikemanusiaan mereka, melainkan kepada cinta mereka kepada diri mereka sendiri, dan janganlah sekali-kali berbicara tentang keperluan-keperluan kita, melainkan tentang keuntungan-keuntungan mereka." (Robert L. Heilbroner;1986, UI Press).1

Motif kepentingan individu yang didorong oleh filsafat liberalisme kemudian melahirkan sistem ekonomi pasar bebas, pada akhirnya melahirkan ekonomi Kapitalis.

Milton H. Spencer (1977), menulis dalam bukunya Contemporary Economics: "Kapitalisme merupakan sebuah sistem organisasi ekonomi yang dicirikan oleh hak milik privat (individu) atas alat-alat produksi dan distribusi (tanah, pabrik-pabrik, jalan-jalan kereta api, dan sebagainya) dan pemanfaatannya untuk mencapai laba dalam kondisi-kondisi yang sangat kompetitif."

Lembaga hak milik swasta merupakan elemen paling pokok dari kapitalisme. Pemberian hak pemilikan atas harta kekayaan memenuhi tiga macam fungsi ekonomi penting:

Para individu memperoleh perangsang agar aktiva mereka dimanfaatkan seproduktif mungkin.

Hal tersebut sangat mempengaruhi distribusi kekayaan serta pendapatan karena individu-individu diperkenankan untuk menghimpun aktiva dan memberikannya kepada para ahli waris secara mutlak apabila mereka meninggal dunia.

Ia memungkinkan laju pertukaran yang tinggi oleh karena orang memiliki hak pemilikan atas barang-barang sebelum hak tersebut dapat dialihkan kepada pihak lain.

Dengan demikian kapitalisme sangat erat hubungannya dengan pengejaran kepentingan individu. Bagi Smith bila setiap individu diperbolehkan mengejar kepentingannya sendiri tanpa adanya campur tangan pihak pemerintah, maka ia seakan-akan dibimbing oleh tangan yang tak nampak (the invisible hand), untuk mencapai yang terbaik pada masyarakat. Kebebasan ekonomi tersebut juga diilhami oleh pendapat Legendre yang ditanya oleh Menteri keuangan Perancis pada masa pemerintahan Louis XIV pada akhir abad ke 17, yakni Jean Bapiste Colbert. Bagaimana kiranya pemerintah dapat membantu dunia usaha, Legendre menjawab: "Laissez nous faire" (jangan mengganggu kita, [leave us alone]), kata ini dikenal kemudian sebagai laissez faire. Dewasa ini prinsip laissez faire diartikan sebagai tiadanya intervensi pemerintah sehingga timbullah:

individualisme ekonomi dan

kebebasan ekonomi

Dengan kata lain dalam sistem ekonomi kapitalis berlaku "Free Fight Liberalism" (sistem persaingan bebas). Siapa yang memiliki dan mampu menggunakan kekuatan modal (Capital) secara efektif dan efisien akan dapat memenangkan pertarungan dalam bisnis. Paham yang mengagungkan kekuatan modal sebagai syarat memenangkan pertarungan ekonomi disebut sebagai Capitalisme.



C. Sosialisme

Dalam kehidupan sehari-hari istilah sosialisme digunakan dalam banyak arti. Istilah sosialisme selain digunakan untuk menunjukkan sistem ekonomi, juga digunakan untuk menunjukkan aliran filsafat, ideologi, cita-cita, ajaran-ajaran atau gerakan. Sosialisme sebagai gerakan ekonomi muncul sebagai perlawanan terhadap ketidak adilan yang timbul dari sistem kapitalisme.

John Stuart Mill (1806-1873), menyebutkan sebutan sosialisme menunjukkan kegiatan untuk menolong orang-orang yang tidak beruntung dan tertindas dengan sedikit tergantung dari bantuan pemerintah.

Sosialisme juga diartikan sebagai bentuk perekonomian di mana pemerintah paling kurang bertindak sebagai pihak dipercayai oleh seluruh warga masyarakat, dan menasionalisasikan industri-industri besar dan strategis seperti pertambangan, jalan-jalan, dan jembatan, kereta api, serta cabang-cabang produk lain yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Dalam bentuk yang paling lengkap sosialisme melibatkan pemilikan semua alat-alat produksi, termasuk di dalamnya tanah-tanah pertanian oleh negara, dan menghilangkan milik swasta (Brinton:1981).

Dalam masyarakat sosialis hal yang menonjol adalah kolektivisme atau rasa kerbersamaan. Untuk mewujudkan rasa kebersamaan ini, alakosi produksi dan cara pendistribusian semua sumber-sumber ekonomi diatur oleh negara.



D. Komunisme

Komunisme muncul sebagai aliran ekonomi, ibarat anak haram yang tidak disukai oleh kaum Kapitalis. Aliran ekstrim yang muncul dengan tujuan yang sama dengan sosialisme, sering lebih bersifat gerakan ideologis dan mencoba hendak mendobrak sistem kapitalisme dan sistem lain yang telah mapan.

Kampiun Komunis adalah Karl Marx, sosok yang amat membenci Kapitalisme ini merupakan korban dan saksi sejarah, betapa ia melihat para anak-anak dan wanita-wanita -termasuk keluarganya- yang di eksploitir para kapitalis sehingga sebagian besar dari mereka terserang penyakit TBC dan tewas, karena beratnya penderitaan yang mereka alami. Sementara hasil jerih payah mereka dinikmati oleh para pemilik sumber daya (modal) yang disebutnya kaum Bourjuis.

Di ilhami pendapat Hegel yang menyatakan bahwa perubahan historis merupakan hasil kekuatan-kekuatan yang bertentangan satu sama lain. Pertentangan tersebut pada dasarnya bersifat ekonomis atau materialistis, dengan demikian faktor-faktor ekonomi menurut Marx mejadi sebab pokok terjadinya perubahan.

Kata Komunisme secara historis sering digunakan untuk menggambarkan sistem-sistem sosial di mana barang-barang dimiliki secara bersama-sama dan didistribusikan untuk kepentingan bersama sesuai dengan kebutuhan masing-masing anggota masyarakat. Produksi dan konsumsi bersama berdasarkan kapasitas ini merupakan hal pokok dalam mendefinisikan paham komunis, sesuai dengan motto mereka: from each according to his abilities to each according to his needs (dari setiap orang sesuai dengan kemampuan, untuk setiap orang sesuai dengan kebutuhan).3

Walaupun tujuan sosialisme dan komunisme sama, tetapi dalam mencapai tujuan tersebut sangat berbeda. Komunisme adalah bentuk paling ekstrem dari sosialisme. Bentuk sistem perekonomian yang didasarkan atas sistem, di mana segala sesuatunya serba dikomando. Begitu juga karena dalam sistem komunisme negara merupakan penguasa mutlak, perekonomian komunis sering juga disebut sebagai "sistem ekonomi totaliter", menunjuk pada suatu kondisi sosial di mana pemerintah main paksa dalam menjalankan kebijakan-kebijakannya, meskipun dipercayakan pada asosiasi-asosiasi dalam sistem sosial kemasyarakatan yang ada. Sistem ekonomi totaliter dalam praktiknya berubah menjadi sistem otoriter, dimana sumber-sumber ekonomi dikuasai oleh segelintir elite yang disebut sebagai polit biro yang terdiri dari elite-elite penguasa partai Komunis.



E. Fasisme

Fasisme muncul dari filsafat radikal yang muncul dari revolusi industri yakni sindikalisme. Eksponen sindikalisme adalah George Sorel (1847-1922). Para penganjur sindikalisme menginginkan reorganisasi masyarakat menjadi:

asosiasi-asosiasi yang mencakup seluruh industri, atau

sindikat-sindikat pekerja

Mereka menganjurkan agar ada sindikat-sindikat pabrik baja yang dimiliki dan dioperasikan oleh para pekerja di dalam industri batu bara, dan begitu pula halnya pada industri-industri lain.

Dengan demikian sindikat-sindikat yang ada pada dasarnya merupakan serikat-serikat buruh akan menggantikan negara. Dalam sistem ekonomi fasisme, pemerintah melakukan pengendalian dalam bidang produksi, sedangkan kekayaan dimiliki oleh pihak swasta.

Dalam praktik Fasisme dan Komunisme adalah dua gejala dari penyakit yang sama. Keduanya sering dikelompokkan sebagai sistem totaliter. Keduanya sama dalam hal pemerintahan, yaitu kediktatoran satu partai.



F. Islam

Ilmu ekonomi Islam merupakan ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang dilhami oleh nilai-nilai Islam. Sejauh mengenai masalah pokok kekurangan, hampir tidak terdapat perbedaan apapun antara ilmu ekonomi Islam dan ilmu ekonomi modern. Andaipun ada perbedaan itu terletak pada sifat dan volumenya (M. Abdul Mannan; 1993). Itulah sebabnya mengapa perbedaan pokok antara kedua sistem ilmu ekonomi dapat dikemukakan dengan memperhatikan penanganan masalah pilihan.

Dalam ilmu ekonomi modern masalah pilihan ini sangat tergantung pada macam-macam tingkah masing-masing individu. Mereka mungkin atau mungkin juga tidak memperhitungkan persyaratan-persyaratan masyarakat. Namun dalam ilmu ekonomi Islam, kita tidaklah berada dalam kedudukan untuk mendistribusikan sumber-sumber semau kita. Dalam hal ini ada pembatasan yang serius berdasarkan ketetapan kitab Suci Al-Qur’an dan Sunnah atas tenaga individu. Dalam Islam, kesejahteraan sosial dapat dimaksimalkan jika sumber daya ekonomi juga dialokasikan sedemikian rupa, sehingga dengan pengaturan kembali keadaannya, tidak seorang pun lebih baik dengan menjadikan orang lain lebih buruk di dalam kerangka Al-Qur’an atau Sunnah.

Suka atau tidak, ilmu ekonomi Islam tidak dapat berdiri netral di antara tujuan yang berbeda-beda. Kegiatan membuat dan menjual minuman alkohol dapat merupakan aktivitas yang baik dalam sistem ekonomi modern. Namun hal ini tidak dimungkinkan dalam negara Islam.

Seluruh lingkaran aktivitas ekonomi dapat dijelaskan dengan bantuan dua grafik dibawah sebagai berikut:4



(A)

Ilmu Ekonomi Islam
(B)

Ilmu Ekonomi Modern



A. (1) Manusia (sosial namun religius)
B (1) Manusia (sosial)



A. (2) Kebutuhan- kebutuhan tidak terbatas
A. (3) Kekurangan sarana
B. (2) Kebutuhan- kebutuhan tidak terbatas
B. (3) Kekurangan sarana

(E) masalah-masalah ekonomi


(E) masalah-masalah ekonomi

A. (4) Pilihan di antara alternatif (dituntun oleh nilai Islam)


B. (4) Pilihan di antara alternatif (dituntun oleh kepentingan individu)

A. (5) Pertukaran terpadu dan transfer Satu arah (dituntun oleh etika Islami, kekuatan bukan pasar)
B. (5) Pertukaran dituntun oleh

kekuatan pasar





Jadi ringkasnya, dalam ilmu ekonomi Islam kita tidak hanya mempelajari individu sosial melainkan juga manusia dengan bakat religiusnya [A(1)]. Hal ini disebabkan karena banyaknya kebutuhan [A(2)/B(2)] dan kurangnya sarana (A3/B3), maka timbullah masalah ekonomi (E). Masalah ini pada dasarnya sama baik dalam ekonomi modern maupun ekonomi Islam. Namun perbedaan timbul berkenan dengan pilihan. Ilmu ekonomi Islam dikendalikan oleh nilai-nilai dasar Islam A (4) dan ilmu ekonomi modern sangat dikuasai oleh kepentingan diri si individu B (4). Yang membuat ilmu ekonomi Islam benar-benar berbeda ialah sistem pertukaran dan transfer satu arah yang terpadu mempengaruhi alokasi kekurangan sumber-sumber daya, dengan demikian menjadikan proses pertukaran langsung relevan dengan kesejahteraan menyeluruh (A/5) yang berbeda hanya dari kesejahteraan ekonomi (B/5).

Faktor-faktor Produksi dan Konsep Pemilikan

Produksi berarti diciptakannya manfaat, produksi tidak diartikan sebagai menciptakan secara fisik sesuatu yang tidak ada, karena tidak seorang pun dapat menciptakan benda. Yang dapat dilakukan oleh manusia hanyalah membuat barang-barang menjadi berguna, disebut sebagai "dihasilkan." Prinsip fundamental yang harus diperhatikan dalam proses produksi adalah prinsip kesejahteraan ekonomi. Tidak ada perbedaan sudut pandang apa yang menjadi faktor-faktor produksi dalam pandangan ekonomi umum dengan ekonomi Islam yakni, Tanah, Tenaga kerja, Modal dan Organisasi dipandang sama sebagai faktor-faktor produksi. Perbedaan keduanya adalah dari sudut pandang perlakuan faktor-faktor produksi tersebut.

Dalam pandangan Kapitalisme tanah merupakan hak milik mutlak, sementara dalam pandangan Sosialis dan Komunis tanah hanya dimiliki negara sementara Islam memandang Tanah sebagai milik mutlak Allah.5 Sehingga baik negara maupun masyarakat tidak dapat mengklaim sebidang tanah bila keduanya mengabaikan tanah tersebut melewati batas waktu 3 tahun.6 Pemanfaatan atas tanah dalam Islam bukan pada kemampuan seseorang untuk menguasainya tetapi atas dasar pemanfaatannya.7 Sehingga fungsi tanah dalam Islam adalah sebagai hak pengelolaan bukan pada penguasaan.

Masalah krusial hingga kini adalah berkaitan dengan tenaga kerja.

Dalam pandangan Marx, ketidak adilan yang dilakukan para Kapitalis terletak pada pemenuhan upah yang tidak wajar. Sebagai contoh, para pemilik modal menetapkan hari kerja 12 jam. padahal pekerja yang bersangkutan dapat memproduksi nilai yang sama dengan upah subsitensinya dalam 7 jam, maka sisa 5 jam merupakan nilai surplus yang secara harfiah dicuri oleh para Kapitalis. Islam sangat concern terhadap posisi tenaga kerja Nabi berkata "Bayarlah upah pekerja sebelum keringatnya kering," ucapan Rasulullah tersebut mengisyaratkan betapa hak-hak pekerja harus mendapat jaminan yang cukup. Islam tidak memperkenankan pekerja bekerja pada bidang-bidang yang tidak diizinkan oleh syariat. Dalam Islam, buruh bukan hanya suatu jumlah usaha atau jasa abstrak yang ditawarkan untuk dijual pada para pencari tenaga kerja manusia. Mereka yang mempekerjakan buruh mempunyai tanggung jawab moral dan sosial. Dengan demikian sebuah lembaga Islam yang mempekerjakan buruh atau pekerja tidak diperkenankan membayar gaji mereka dengan tidak sewajarnya (ukuran wajar dapat diukur dengan standar hidup layak atau menurut ukuran pemerintah seperti UMP). Dan sangat besar dosanya bila sebuah lembaga Islam yang dengan sengaja tidak mau membayar upah buruhnya dengan standar kebutuhan, apalagi bila membujuknya dengan kata-kata bahwa, nilai pengorbanan si buruh tersebut merupakan pahala baginya. Padahal dibalik itu si pemilik modal (si pejabat) melakukan pemerasan berkedok agama. Baik si pekerja maupun majikan tidak boleh saling memeras. Tanggung jawab seorang buruh tidak berakhir ketika ia meninggalkan pabrik/usaha majikannya. Tetapi ia juga mempunyai tanggung jawab moral untuk melindungi kepentingan yang sah, baik kepentingan para majikan maupun para pekerja yang kurang beruntung.

Suatu sistem ekonomi Islam harus bebas dari bunga (riba), riba merupakan pemerasan kepada orang yang sesak hidupnya (terdesak oleh kebutuhan).8 Islam sangat mencela penggunaan modal yang mengandung riba.9 Dengan alasan inilah, modal telah menduduki tempat yang khusus dalam ilmu ekonomi Islam. Negara Islam mempunyai hak untuk turun tangan bila modal swasta digunakan untuk merugikan masyarakat. Tersedia hukuman yang berat bagi mereka yang menyalahgunakan kekayaan untuk merugikan masyarakat.[1]0

Lagi pula hanya sistem ekonomi Islam yang dapat menggunakan modal dengan benar dan baik, karena dalam sistem Kapitalis modern kita dapati bahwa manfaat kemajuan teknik yang dicapai oleh ilmu pengetahuan hanya bisa dinikmati oleh masyarakat yang relatif kaya, yang pendapatannya melebihi batas pendapatan untuk hidup sehari-hari. Mereka yang hidup sekedar cukup untuk makan sehari-hari terpaksa harus tetap menderita kemiskinan abadi, karena hanya dengan mengurangi konsumsi hari ini ia dapat menyediakan hasil yang kian bertambah bagi hari esok, dan kita tidak bisa berbuat demikian kecuali bila pendapatan kita sekarang ini bersisa sedikit di atas keperluan hidup sehari-hari.

Tetapi Islam melindungi kepentingan si miskin dengan memberikan tanggung jawab moral terhadap si kaya untuk memperhatikan si miskin. Islam mengakui sistem hak milik pribadi secara terbatas, setiap usaha apa saja yang mengarah ke penumpukan kekayaan yang tidak layak dalam tangan segelintir orang, dikutuk! Al-Qur’an menyatakan agar si kaya mengeluarkan sebagian dari rezekinya untuk kesejahteraan masyarakat1[1], karena kekayaan harus tersebar dengan baik.12 Dengan cara ini, Islam menyetujui dua pembentukan modal yang berlawanan yaitu konsumsi sekarang yang berkurang dan konsumsi mendatang yang bertambah. Dengan demikian memungkinkan modal memainkan peranan yang sesungguhnya dalam proses produksi. Karena itu tingkat keuntungan pada usaha ekonomi yang khusus antara lain dapat digunakan sebagai salah satu sarana penentuan modal.

Kelihatannya tiak ada ciri-ciri istimewa yang dapat dianggap sebagai organisasi dalam suatu kerangka Islam. Tetapi ciri-ciri khusus berikutnya dapat diperhatikan, untuk memahami peranan organisasi dalam ekonomi Islam. Pertama, dalam ekonomi Islam pada hakikatnya lebih berdasarkan ekuiti (equity-based) daripada berdasarkan pinjaman (loan-based), para manajer cenderung mengelola perusahaan yang bersangkutan dengan pandangan untuk membagi deviden di kalangan pemegang saham atau berbagi keuntungan diantara mitra sutau usaha ekonomi. Kekuatan – kekuatan koperatif melalui berbagai bentuk investasi berdasarkan persekutuan dalam bermacam-macam bentuk (mudaraba, musyarika, dll).

Kedua, pengertian keuntungan biasa mempunyai arti yang lebih luas dalam kerangka ekonomi Islam karena bunga pada modal tidak diperkenankan. Modal manusia yang diberikan manajer harus diitegerasikan dengan modal yang berbentuk uang. Pengusaha penanam modal dan usahawan menjadi bagian terpadu dalam organisasi dimana keuntungan biasa menjadi urusan bersama.

Ketiga, karena sifat terpadu organisasi inilah tuntutan akan integritas moral, ketetapan dan kejujuran dalam perakunan (accounting) barangkali jauh lebih diperlukan daripada dalam organisasi sekular mana saja, dimana para pemilik modalnya mungkin bukan meruapakn bagian ari manajemen. Islam menekankan kejujuran, ketepatan dan kesungguhan dalam urusan perdagangan, karena hal itu mengurangi biaya penyediaan (supervisi) dan pengawasan. Faktor manusia dalam produksi dan strategi usaha barangkali mempunyai signifikansi lebih diakui dibandingkan dengan strategi manajemen lainnya yang didasarkan pada memaksimalkan keuntungan atau penjualan.

Dapat disimpulkan bahwa sistem produktif dalam negara Islam harus dikendalikan dengan kriteria objektif maupun subjektif. Kriteria objektif diukur dengan kesejahteraan material, seangkan kriteria subjektif harus tercermin dalam kesejahteraan yang harus dinilai dari segi etika ekonomi Islam.

Dalam Islam, faktor produksi tidak hanya tunduk pada proses perubahan sejarah yang didesak oleh banyak ke-kuatan berlatar belakang penguangan / monetization

tenaga kerja, tanah dan modal, timbulnya negara nasional dari kerajaan feodal dan sebagainya, tetapi juga pada kerangka moral dan etika abadi sebagaimanatertulis dalam syariat. Tanah tidak dianggap sebagai hak kuno istimew dari negara dan kekuasaan, tetapi dianggap sebagai sarana untuk meningkatkan produksi yang digunakan demi kesejahteraan individu dan masyarakat.

Konsep hak milik pribadi dalam Islam bersifat unik, dalam arti bahwa pemilik mutlak segala sesuatu yang ada di bumi dan langit adalah Allah14 manusia hanyalah kalifah di muka bumi. Pada umumnya terdapat ketentuan syariat yang mengatur hak milik pribadi.

Beberapa aspek pembiayaan dalam Islam cukup bervariasi, jika dalam ekonomi modern pemerintah memperoleh pendapatan dari sumber pajak, bea cukai dan pungutan, maka Islam lebih memperkayanya dengan zakat, jizyah, kharaj (paja bumi), pampasan perang.

Meskipun nilai nominal zakat lebih kecil dari pajak dalam ekonomi modern tetapi pemberlakukan distribusinya lebih efektif. Sebagai contoh pada masa depresi di Amerika tahun 1929 (jatuhnya bursa saham di New York), ahli makro ekonomi Keynes, menyarankan agar masyarakat Amerika yang berduit melakukan komsumsi tinggi - salah satu penyebab terjadinya depresi ekonomi adalah akibat terkonsentrasinya modal pada segelintir orang – diharapkan dengan konsumsi tinggi akan mengalir dana dan menjadi efek rembes ke kemasyarakat. Akan tetapi efek rembes dana dari orang kaya biasanya mengalir lambat pada orang miskin,

Keunggulan pembangunan Islam yang mengacu pada meningkatnya output dari setiap jam kerja yang dilakukan, bila dibandingkan dengan konsep modern, disebabkan karena keinginan pembangunan ekonomi dalam Islam tidak hanya timbul dari masalah ekonomi abadi manusia, tetapi juga dari anjuran Ilahi dalam Qur’an dan Sunnah. Pertumbuhan output per kapita, di satu pihak tergantung pada sumber daya alam dan di lain pihak pada perilaku manusia. Tetapi sumber daya alam saja bukan merupakan kondisi yang cukup untuk pembangunan ekonomi, juga bukan sesuatu yang mutlak diperlukan. Perilaku manusia memainkan peranan yang sangat penting dalam pembangunan ekonomi. Namun pembentukan perilaku manusia di negara terbelakang adalah suatu proses yang menyakitkan karena memerlukan penyesuaian dengan lembaga-lembaga sosial, ekonomi, hukum, politik. Berbeda dari agama lainnya, Islam mengakui kebutuhan metafisik maupun material dari kehidupan. Karena itu masalah penempatan perilaku manusia di suatu negara Islam tidaklah sesulit di negara-negara sekular.



Catatan

1 Robert L. Heilbroner, 1986, Tokoh-Tokoh Besar Pemikir Ekonomi.

2 Winardi, 1986, Kapitalisme Versus

Sosialisme.

3 Deliarnov, 1995, Perkembangan Pemikiran

Ekonomi.

4 Muhammad Abdul Mannan, 1993, Teori dan

Praktek Ekonomi Islam.

5 QS:Al-A’raf [7];128.

6 Barang Siapa yang memiliki sebidang tanah,

hanya dapat memagarinya, selewat tiga tahun

maka ia tidak berhak atas tanah tersebut.

(Hadits).

7 Barang siapa yang menghidupkan tanah mati,

maka ia paling berhak atasnya (Hadits)

8 Fuad Mohd Fachruddin, 1983, Riba Dalam

Bank, Koperasi, Perseoran & Asuransi.

9 Dalam banyak Hadits riba disetarakan

dengan dosa perzinaan, bahkan menzinai

ibunya sendiri.

[1]0 QS:Al Haqqah [69];30-32

1[1] QS: Al Fatir [35];29 lihat QS: Al Baqarah

[2];3

12 QS: Al- Hasyr [59];7

13 QS: Ali Imran [3];189



Daftar Pustaka:

Al-Qur’an Terjemahan Departemen Agama RI

Fuad Mohd Fachruddin, 1983, Riba Dalam Bank, Koperasi, Perseoran & Asuransi, Alma’arif, Bandung.

Muhammad Abdul Mannan, 1993, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, PT. Dana Bhakti Wakaf .

Robert L. Heilbroner, 1986, Tokoh-Tokoh Besar Pemikir Ekonomi, UI Press.

Winardi, 1986, Kapitalisme Versus Sosialisme, Remadja Karya, Bandung.

Deliarnov, 1995, Perkembangan Pemikiran Ekonomi, Raja Garfindo Persada.

Dipetik dari : http://www.uika-bogor.ac.id/jur07.htm (13 Jun 2007)

Fatwa Hukum MLM

Oleh Majlis Ulama Indonesia

Akhir-akhir ini di tengah-tengah masyarakat Indonesia muncul sistem perdagangan baru yang dikenal dengan istilah Multi Level Marketing yang disingkat MLM. Sistem perdagangan ini dipraktekkan oleh berbagai perusahaan, baik yang berskala lokal, nasional, regional maupun internasional. Di antaranya adalah Amway, Uni Beauty Shop International (UBSI) dan DNX Indonesia. Sistem perdagangan semacam ini sangat menggiurkan sebagian anggota masyarakat karena menjanjikan keuntungan besar dalam waktu yang relatif singkat.

Sistem perdagangan Multi Level Marketing (MLM) dilakukan dengan cara menjaring calon nasabah yang sekaligus berfungsi sebagai konsumen dan member dari perusahaan yang melakukan praktek MLM. Secara rinci, sistem perdagangan Multi Level Marketing MLM) dilakukan dengan cara sebagai berikut:

a. Mula-mula pihak perusahaan berusaha menjaring konsumen untuk menjadi member dengan cara mengharuskan calon konsumen membeli paket produk perusahaan dengan harga tertentu.

b. Dengan membeli paket produk perusahaan tersebut, pihak pembeli diberi satu formulir keanggotaan (member) dari perusahaan.

c. Sesudah menjadi member, maka tugas berikutnya adalah mencari calon member-member baru dengan cara seperti di atas, yakni membeli produk perusahaan dan mengisi formulir keanggotaan.

d. Para member baru juga bertugas mencari calon member-member baru lagi dengan cara seperti di atas, yakni membeli produk perusahaan dan mengisi formulir keanggotaan.

e. Jika member mampu menjaring member-member baru yang banyak, maka ia akan mendapat bonus dari perusahaan. Semakin banyak member yang dapat dijaring, maka semakin banyak pula bonus yang akan didapatkan, karena perusahaan merasa diuntungkan oleh banyaknya member yang sekaligus menjadi konsumen paket produk perusahaan.

f. Dengan adanya para member baru yang sekaligus menjadi konsumen paket produk perusahaan, maka member yang berada pada level pertama (member awal/ pelopor), kedua dan seterusnya akan selalu mendapatkan bonus secara estafet dari perusahaan karena perusahaan merasa diuntungkan dengan adanya member-member baru yang sekaligus menjadi konsumen paket produk perusahaan.

Di antara perusahaan MLM, ada yang melakukan kegiatan menjaring dana masyarakat untuk menanamkan modal di perusahaan tersebut dengan janji akan memberikan keuntungan sebesar hampir 100 % dalam setiap bulannya. Akan tetapi dalam prakteknya, tidak semua perusahaan mampu memberikan keuntungan seperti yang dijanjikan, bahkan terkadang berusaha menggelapkan dana nasabah yang menjadi member perusahaan. Berkenaan dengan hal ini, Komisi Fatwa MUI DKI Jakarta memfatwakan:

1. Bahwa sistem perdagangan Multi Level Marketing (MLM) diperbolehkan oleh syari'at Islam dengan syarat¬-syarat sebagai berikut:

a. Transaksi (akad) antara pihak penjual (al-ba'i) dan pembeli (al-musytari) dilakukan atas dasar suka sama suka (' an taradhin), dan tidak ada paksaan;

b. Barang yang diperjualbelikan (al-mabi') suci, bermanfaat dan transparan sehingga tidak ada unsur kesamaran atau penipuan (gharar);

c. Barang-barang tersebut diperjualbelikan dengan harga yang wajar.

Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 275:

وَأَحَلَّ اللّهُ البَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا(275) البقرة

Artinya:
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. AI-Baqarah, 2: 275

Demikian juga firman-Nya dalam surat an-Nisa 29:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالبَاطِلِ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ وَلاَ تَقْتُلُواْ أَنفُسَكُمْ إِنَّ اللّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيما(29) النساءً

Ayat:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. An-Nisa', 4: 29

Jika sistem perdagangan Multi Level Marketing (MLM) dilakukan dengan cara pemaksaan; atau barang yang diperjualbelikan tidak jelas karena dalam bentuk paket yang terbungkus dan sebelum transaksi tidak dapat dilihat oleh pembeli, maka hukumnya haram karena mengandung unsur kesamaran atau penipuan (gharar). Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah SAW dalam hadits shahih yang diriwayatkan Imam Muslim, sebagai berikut:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ اْلغَرَرِ ( رواه مسلم)

Artinya:
Rasulullah SAW melarang terjadinya transaksi jual beli yang mengandung gharar"

2. Jika harga barang-barang yang diperjualbelikan dalam sistem perdagangan Multi Level Marketing (MLM) jauh lebih tinggi dari harga yang wajar, maka hukumnya haram karena secara tidak langsung pihak perusahaan telah menambahkan harga barang yang dibebankan kepada pihak pembeli sebagai sharing modal dalam akad syirkah mengingat pihak pembeli sekaligus akan menjadi member perusahaan, yang apabila ia ikut memasarkan akan mendapatkan keuntungan secara estafet. Dengan demikian, praktek perdagangan Multi Level Marketing (MLM) tersebut mengandung unsur kesamaran atau penipuan (gharar) karena terjadi kekaburan antara akad jual beli (al-bai'), syirkah, sekaligus mudlarabah karena pihak pembeli sesudah menjadi member juga berfungsi sebagai 'amil (pelaksana/ petugas) yang akan memasarkan produk perusahaan kepada calon pembeli (member) baru.

3. Jika perusahaan Multi Level Marketing (MLM) melakukan kegiatan menjaring dana masyarakat untuk menanamkan modal di perusahaan tersebut dengan janji akan memberikan keuntungan tertentu dalam setiap bulannya, maka kegiatan tersebut adalah haram karena melakukan praktek riba yang jelas-jelas diharamkan oleh Allah SWT. Apalagi dalam kenyataannya tidak semua perusahaan mampu memberikan keuntungan seperti yang dijanjikan, bahkan terkadang menggelapkan dana nasabah yang menjadi member perusahaan. Sebagaimana telah difirmankan Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 279:

وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُؤُوسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُونَ وَلاَ تُظْلَمُونَ(279) البقرة

Artinya:
Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. AI-Baqarah, 2: 279.

Berhubung di antara sistem perdagangan Multi Level Marketing (MLM) ada yang diharamkan oleh syari' at Islam, maka hendaklah Umat Islam agar berhati-hati dalam melakukan kegiatan perdagangan dengan system Multi Level Marketing (MLM). Pilihlah sistem perdagangan Multi Level Marketing (MLM) yang benar-benar diperbolehkan oleh syari'at Islam karena memenuhi syarat-syarat yang telah disebutkan di atas.

Negara asal : Indonesia
Negeri : Jakarta
Badan yang mengisu fatwa : Majelis Ulama Indonesia DKI Jakarta

Isu Shariah Dalam Perniagaan MLM

Oleh : Ust Hj Zaharuddin Hj Abd Rahman

www.zaharuddin.net


Jualan Pelbagai Peringkat atau lebih dikenali sebagai ‘Multi Level Marketing' atau MLM adalah amat popular di Malaysia. Dalam pada masa yang sama, sistem yang sama juga digunakan oleh industri penjualan Saham Amanah Islam dan beberapa produk Takaful. Statistik tahun 2003 menunjukkan industri MLM Malaysia mencatatkan jualan RM 4 bilion dan lebih dari 3 juta orang Malaysia terlibat dalam urusniaga MLM.



Akibat dari kebanjiran produk dan syarikat yang menggunakan sistem ini dalam mempromosi dan penjualan produk mereka. MLM kini boleh dianggap sebagai sebuah sistem pemasaran yang diterima ramai. Bagaimanapun, amat jarang dijumpai ilmuan Shariah samada dalam atau luar negara yang ingin atau berminat untuk menghuraikan sistem ini dari aspek Shariah dengan terperinci dan konkrit. Ini mungkin disebabkan kerumitan atau kurangnya minat ilmuan Shariah untuk mendalami proses sistem ini.


Para ‘Ustaz' dan Multi Level Marketing


Saya juga tidak dapat lari dari dibanjiri soalan demi soalan berkenaan hal ini. Pada awalnya, saya cuba untuk mengelak disebabkan terlampau banyak bentuk dan jenis MLM ini hingga menyukarkan sesiapa juga untuk memandu dan menerangkan hukumnya secara jelas. Di tambah pula mengenagkan pengikut dan pengamalnya yang terlalu ramai dan kebanyakkannya pula kelihatan ‘taksub' dan amat yakin akan halalnya kaedah MLM ini.


Tidak kurang juga terdapat para graduan Shariah atau pengajian Islam yang digelar ‘Ustaz' dan Ustazah' yang juga kuat berkempen produk-produk syarikat dengan skim MLM. Lebih hangat dan meriah lagi, kumpulan ini kerap mendakwa ianya halal lalu diselitkan dengan pelbagai dalil Al-Quran dan Hadith yang menggalakkan umat Islam berniaga, kuat ekonomi dan lain-lain. Hakikatnya, dalil-dalil ini bukanlah khusus untuk menyokong MLM dan perniagaan piramid mereka.


Ikhlas saya ingin nyatakan di sini, agak ramai juga orang ramai yang terpengaruh dengan kempenan dari kumpulan ilmuan agama seperti ini, menyebabkan orang ramai menyertainya tanpa berfikir lagi berkenaan halal atau haramnya sesuatu produk itu kerana ia telah diiktiraf oleh seorang ‘ustaz'. Justeru, saya ingin menasihatkan semua rakan-rakan lulusan Shariah dan Pengajian Islam agar lebih berhati-hati memberikan sebarang hukum dan merujuk dengan lebih mendalam sebelum berkempen dan mendakwa halalnya sesuatu produk hanya semata-mata kerana ia mendapat keuntungan besar di dalamnya. Ini kerana agak ramai juga saya dapati orang ramai yang berkiblatkan ustaz tertentu dalam kempen MLM mereka. Berkatalah Al-Laith bin Sa'ad : « Seandainya orang-orang yang memiliki pemahaman halal dan haram meneliti masalah ini, pastilah mereka tidak akan membolehkannya kerana terdapat di dalamnya unsur perjudian » ( Riwayat Al-Bukhari, no 2346 ). Sayyidina Umar al-Khattab r.a telah mengingatkan:


لا يبع في سوقنا إلا من قد تفقه في الدين

Ertinya : "Jangan seseorang kamu berjual beli di pasar kami, kecuali ia telah mendalami ilmu (hukum) agama tentangnya" ( Riwayat Tirmidzi, no 487, hlm 129 ; Albani : Hasan)


Bagi membantu masyarakat yang semakin ‘hangus' dalam industri ini, saya merasakan adalah elok untuk saya berkongsi panduan umum Shariah dalam hal penggunaan MLM ini. Bagaimanapun, saya tidaklah mampu untuk menujukan tulisan ringkas ini kepada mana-mana jenama MLM yang wujud di Malaysia mahupun luar negara. Tulisan ini hanya memberikan sedikit gambaran dan garis panduan yang diletakkan oleh undang-undang Islam dalam hal MLM ini.


Pengertian MLM

Secara umum ‘Multi Level Marketing' adalah suatu cara perniagaan alternatif yang berkaitan dengan pemasaran yang dilakukan melalui banyak level (tingkatan), yang biasa dikenal dengan istilah ‘Upline' (tingkat atas) dan ‘Downline' (tingakt bawah), orang akan disebut ‘Upline' jika mempunyai ‘Downline'. Pokok utama dari perniagaan MLM ini digerakkan dengan jaringan ini, sama ada yang bersifat ‘vertikal' atas bawah mahupun ‘horizontal kiri kanan' ataupun gabungan antara keduanya. (Lihat All About MLM oleh Benny Santoso hal: 28, Hukum Syara MLM oleh Hafidz Abd Rahman, MA)

Bentuk MLM yang Haram atau syubhat
Ada beberapa bentuk sistem MLM yang jelas keharamannya atau keraguannya, iaitu apabila ia menggunakan sistem berikut :

1) Harga tinggi dari biasa : Menjual produk yang diperjualbelikan dalam sistem MLM dengan harga yang jauh lebih tinggi dari harga biasa, ia adalah amat tidak digalakkan menurut Islam malah menurut sebahagian ulama, aqad seperti ini adalah terbatal. Tatkala itu, ia digelar ‘Gabhnun Fahisyh' menurut istilah ulama Fiqh. Hukum jualan secara ‘Ghabnun Fahisy' ini diperbezakan oleh ulama antara harus, makruh dan haram. (Durar al-Hukkam Fi Syarh Majallah al-Ahkam, klausa no 356, hlm 369). Bagaimana Nabi SAW pernah mengisyaratkannya sebagai suatu kezaliman jika berlaku kepada orang yang tidak mengetahui selok belok harga barang. (Al-Qawaid, Ibn Rusyd, hlm 601)

Bagaimanapun perlu diingat, dalam satu MLM mungkin terdapat 3 atau 4 unsur syubhat dan haram yang akan saya sebutkan. Ini tidaklah bermakna saya mengatakan MLM haram hanya kerana adanya unsur "Harga Lebih Tinggi dari Biasa" , ia cuma salah satu unsur yang perlu disemak dan boleh memburukkan lagi hukum sesuatu MLM sehingga boleh jatuh tahap haram kerana penipuan dalam keadaan tertentu yang lain.

Apa yang ingin saya nyatakan ‘Ghabnun' di sini adalah yang dibuat dalam bentuk penipuan harga kepada orang awam, iaitu harga yang sengaja dinaikkan kerana merangkumkan yuran penyertaan dalam system priamid. Sebagai contoh saya pernah ‘terpaksa' membeli sebuah produk MLM. Oleh kerana tukang jual MLM ini amat sukar beralah, dan saya ingin ia cepat menamatkan kempenanannya dengan adab, lalu saya belilah satu produknya yang termurah, iaitu sebiji bantal yang dikatakan sangat hebat, harganya mencecah RM300 sebiji. Inilah namanya 'Ghabnun', sedangkan bantal tersebut rupa-rupanya langsung tiada istimewanya setelah digunakan. Maka jelas harganya dinaikkan kerana penyertaan sebagai ahli dan masuk dalam sistem. Tapi saya senyapkan saja keahlian dan langsung tidak bergerak, membeli hanya kerana kasihan dengan si penjual yang dikenali ini sahaja.


Inilah maksud saya mempunyai unsur ‘Ghabnun', mungkin unsur ini tidak cukup kuat untuk menjadikannya haram, tetapi ia salah satu unsur yang memberi kesan kepada aqad, kesan ini apabila ia bergabung dengan unsur-unsur syubhat yang lain, ia boleh menjadi haram.


Sebagai Makluman :


Mazhab Hanafi : terbahagi kepada 3 pandangan, iaitu ada ulamanya yang mengatakan ghabnun harus walaupun Fahisyh, kedua : Haram , ketiga : Haram bila ada usnur penipuan sahaja ( Syarh ad-Dur , AL-Haskafi, 2/82 )


Mazhab Maliki : Juga ulama mereka berbagai pandangan : Pertama : Ghabnun Mustrasil samada Yasir atau fahsiyh : Haram ; Kedua : Ghabnun lebih tinggi 1/3 dari harga pasaran biasa tanpa adalah HARAM. ( Al-Qawaid : Ibn Rusyd , hlm 601 ; AL-Qawaid Al-Fiqhiyyah, Ibn Juzay, hlm 294)


Mazhab Syafie : Harus hukumnya kecuali pandangan ganjil dari al-Mutawaali yang mengharamkannya . ( Al-Majmu' , 7/500 )


Mahzab Hanbali : Ibn Quddamah berkata : "Ghabn Mustarsil adala apabila si pembeli membeli dengan harga yang terkeluar dari harga pasaran ... teruatamanya apabila didesak ( agar tak pergi semak kedai-kedai lain dulu) dan cuba disegerakan oleh penjual " ( Al-Mughni , 4/78 )


Justeru, perbincangan panjang tentang 'Ghabn' sebenarnya menunjukkan terdapat jenis 'Ghabn' yang disepakati haramnya oleh ulama, ada yang disepakati halalnya, dan terdapat yang diperbezakan pandangan. Justeru apabila saya sebut 'ghabn' sebagai salah satu sebab boleh jadikan MLM haram, maka ini kerana berkemungkinan jenis yang disepakati haram itu berlaku. Justeru, semasa menulis artikel anda perlu faham target saya. Adakah anda yakin semua jenis 'Ghabn' yang berlaku dalam MLM itu tergolong dari golongan yang harus ?. Jika ye, maka itu pandangan anda , bukan saya. Saya lebih selesa berpandangan ia banyak jenis 'Ghabn' yang berlaku lebih menjurus kepada haram terutamanya apabila hampir semua syarikat-syarikat MLM ini amat mengambil mudah akan hal hukum agama. Jika tidak, pastinya mereka telah mengambil Penasihat Shariah sejak dari awal.





2) Jualan target sebagai syarat komisyen : Selain dari yuran yang wajib dibayar oleh ahli, pada kebiasaannya terdapat syarat yang mewajibkan ahli tersebut mencapai target jualan tertentu bagi melayakkannya mendapat apa jua komsiyen dari hasil jualan orang di bawahnya. Apabila ia gagal mencapai ‘harga target' tersebut maka keahliannya akan hilang atau tiada sebarang komisyen untuknya walaupun orang bawahannya menjual dengan begitu banyak. Semua MLM yang terlibat dengan syarat seperti ini, menyebabkan sistem MLM mereka menjadi bermasalah dari sudut Shariah kerana wujudnya unsur kezaliman terhadap ahli selain wujudnya kewajiban jualan bersyarat dengan syarat yang tidak menyebelahi ahli serta berbentuk penindasan. Seolah-olah pihak syarikat memaksanya dengan mengatakan "Anda mesti membeli atau mengekalkan penjualan peribadi sebanyak RM 500 sebulan bagi membolehkan anda mendapat hak komisyen orang bawahan anda".

Pada asasnya, komisyen yang diambil atas usaha menjual (seperti ‘brokerage fee') sesuatu barangan adalah adalah harus menurut Shariah, ia adalah pandangan ulama besar Tabi'en seperti Muhammad Ibn Sirin, ‘Ato' Bin Abi Rabah, Ibrahim an-Nakha'ie dan ramai lagi (Sohih Al-Bukhari ; Al-Musannaf, 5/242 ; Mawahibul Jalil, 4/452 ). Bagaimanapun, komisyen dalam hal MLM dan system piramdi ini boleh bertukar menjadi haram apabila :-

* Diikat komisyen jualan rangkaiannya dengan sesuatu jualan olehnya, ia menimbulkan masalah dari sudut Shariah seperti unsur pemaksaan, syarat yang tidak sah dalam perwakilan dan perjudian.

* Komisyen datang dari orang bawahan yang langsung tidak dikenalinya kerana sudah terlampau jauh ke bawah. Ini menjadikan orang atasan seolah-olah mendapat untung di atas angina tanpa sebarang kerja dan usaha lagi. Ia juga boleh dikelaskan sebagai broker di atas broker di atas briker di atas broker dan seterusnya. Dalam hal berbilangnya rantaian komsiyen broker ini, menurut perbincangan saya bersama Syeikh Prof. Dr Abd Sattar Abu Ghuddah (Pakar Shariah utama dalam bidang kewangan Islam dunia di Kesatuan Ulama Fiqh Sedunia, AAOIFI, Dow Jones Islamic Index dan lain-lain) ia termasuk dalam konteks memakan harta orang lain dengan bathil selain terdapat unsur judi. Ini adalah kerana ia seolah-olah meletakkan syarat kepada semua orang bawahan samada dengan pengetahuan mereka atau tidak, semua hasil jualan mereka akan diambil sebahagian keuntungannya untuk orang atasnya.

* Dari sudut yang lain, terdapat juga keraguan dalam isu pemberian komisyen di atas usaha dan tugas agen (wakil penjual) atau "brokerage" (tukang kempen). Ini kerana sepatutnya komisyen ke atas "brokerage" tidak harus mensyaratkan tukang kempen itu untuk membeli untuk diri sendiri sebagaimana yang berlaku dalam beberapa jenis MLM. Sesetengahnya pula mensyaratkan ‘broker' atau ‘agen' untuk menjual sendiri sebanyak sekian jumlah bagi memperolehi komisyen jualan broker (ahli) di bawahnya. Dengan sebab-sebab ini, hal ‘broker' atau ‘agen' menjadi syubhah dan tidak lagi benar ianya disifatkan sebagai komisyen wakil atau broker yang diterima Islam.


3) Jika ahli berdaftar menyertai MLM dengan yuran tertentu, tetapi tiada sebarang produk untuk diniagakan, perniagaannya hanyalah dengan mencari orang bawahanya (downline), setiap kali ia mendapat ahli baru, maka diberikan beberapa peratus dari yuran ahi tersebut kepadanya. Semakin banyak anggota baru bermakna semakin banyak jualah bonusnya. Ini adalah bentuk riba kerana memperdagangkan sejumlah wang untuk mendapat sejumlah lebih banyak yang lain di masa hadapan. Ia merupakan satu bentu Riba Nasiah dan Riba Al-Fadl. Hal yang sama juga hukumnya bagi perusahaan MLM yang tidak mempunyai produk bersungguh dan berkualiti, sebaliknya produk miliknya hanyalah berupa ruangan laman web yang tidak berfaedah buat kebanyakkan orang, atau apa jua produk yang hanya dijadikan sebagai alasan pembelian. Malah harga sebenar produknya juga adakalanya jauh dari harga yang dijual kepada ahli (sebagai contoh dijual produk web komputer, sedangkan haragnya jauh lebih tinggi dan si ahli pula tidak mempunyai komputer pun). Pada hakikatnya, si ahli bukannya ingin membeli produk itu, tetapi untuk menyertai rangkaian serta memperolehi wang darinya. Ia juga termasuk dalam yang diharamkan. Hal membeli produk tidak benar dengan niat utama memasuki rangkaian dan mendapat untung dari rangkaian ini telah difatwakan haram oleh Majlis Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah Arab Saudi no 15/192-193.


4) Terdapat juga syarikat MLM yang melakukan manipulasi dalam menjual produknya, atau memaksa pembeli untuk menggunakan produknya atau yang dijual adalah barang haram. Maka MLM tersebut jelas keharamannya. Namun tidak semua MLM begini, cuma sebahagianya sahaja.


5) Terdapat juga unsur mirip "shafqatayn fi shafqah", atau bay'atayn fi bay'ah, (iaitu dua aqad jenis jual beli dalam satu) yang dilarang oleh Baginda SAW dengan pelbagai lafaz antaranya : "

نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن صفقتين في صفقة واحدة

Ertinya : "Rasulullah SAW melarang dari membuat dua belian (aqad) dalam satu aqad" ( Riwayat Ahmad, Al-Bazzar ; Al-Haithami : perawi Ahmad adalah thiqah ; 4/84 )


Ini berlaku apabila ada sebahagian syarikat MLM yang membuka pendaftaran ahlinya, setiap ahli perlu membayar sejumlah wang disebut yuran, tidak dapat dipastikan samada yuran tersebut untuk membeli kedudukan di dalam rangkaian ataupun membeli produk. Pada waktu yang sama, dengan termeterainya keahliannya itu, ia akan menjadi wakil pula bagi syarikat untuk merekrut ahli baru, maka tindakan MLM seperti ini, boleh dikatakan termasuk dalam kategori hadis : shafqatayn fi shafqah, atau bay'atayn fi bay'ah. Ini kerana, dalam hal ini, orang tersebut telah dikira melakukan transaksi aqad Mu'awadat (kontrak pertukaran hak kewangan) bila membeli produk atau menjadi ahli dan dalam masa yang sama masuk dalam satu jenis aqad lagi iaitu perwakilan (untuk menjualkan produk itu kelak di samping mencari ahli baru) dengan komisyen tertentu. Maka, praktis seperti ini jelas tergolong sebagaimana hadith di atas.


Ingin saya tekankan juga, hal berkaitan komisyen jualan orang di level keseratus akan diperolehi juga oleh upline di tingkat kedua, padahal mereka tiada sebarang kaitan aqad yang jelas, dan hanya kerana rantaian orang dibawahnya maka ia mendapat untung?. Apa yang diletakkan untuk mendapat untung?.


Sedangkan dalam contoh sebuah syarikat besar, seorang pemegang saham sememang layak dapat untung walaupun goyang kaki kerana ia meletakkan 'modal', sebagaimana yang diketahui , keuntungan boleh didapati dari tiga sebab iaitu 1) Modal 2) Kerja 3) Jaminan 'Dhoman' barangan dari sebarang aib pada barang yang dijual.


Lalu si pemegang modal berhak mendapat untung kerana ia letak modal, si pekerja layak mendapat untung kerana ia bekerja .. jadi apa hak si upline kedua untuk dapat untung jualan si downline ke seratus? Tiada modal, tiada kerja, tiada jaminan atau dhoman barangan yang dijual, kernaa jaminan barangan yang dijual adalah dari syarikat, bukan upline!.


Apa Maksud Sebenar Dua Aqad Dalam Satu ?


Shafqatain di Safqah dan lafaz yang seertinya denganya memang tidak dinafikan mempunyai banyak takrif dan tafsiran menurut kefahaman ulama yang berbeza. Manakala sesiapa yang hanya mendedahkan hanya beberapa kerat dari pandangan tersebut dan kemudian terus memegangnya. Tapi perlu diingat disana terdapat pelabagi tafsiran yang lain pula, dan saya memegang tafsiran yang lain. Maka itu tidak bererti tafsiran pegangan saya adalah salah, dan tafsiran pegangan anda mesti betul. Jika demikian perangainya, maka ini jelas tidak faham konsep ikhtilaf dalam nas.

Sebagai hadiah untuk awam dan pembaca yang mampu faham ini beberapa tafsiran tentang hadith dua aqad dalam satu mengikut beberapa kumpulan ulama silam dan kaitannya dengan MLM:-


1) iaitu contoh berkata penjual kepada pembeli : " Aku jual kepadamu baju ini dengan harga RM 10 tunai , atau RM 20 secara tangguh" , maka si pembeli bersetuju TANPA mengspecifickan plan tangguh atau tunai yang dikehendakinya. Ini bentuk yang ditafsirkan oleh Imam Malik, Abu Hanifah, At-Thawri, Ishak Rahawaih, Imam As-Syafie ( Syarh as-Sunah, Al-Baghawi, 8/142 ; ‘Aridathul Ahwazi, 5/240 ; Al-Mughni, Ibn Quddamah, 6/333; Al-Mudawwanah, 9/191 ).

Tiada khilaf di kalangan ahli ilmu, jenis ini adalah HARAM. Bagaimanapun tafsiran ini tidak berapa berkaitan dengan MLM, kerana biasnaya plan harga akan dipilih dengan tepat.


2) Iaitu contohnya pembeli : "jualkan kepadaku barangan ini dengan harga RM 10 tunai atau dengan sebuah radio pada tarikh akan datang", kemudian kedua-dua bersetuju tanpa memberikan yang mana satu mereka inginkan. Ini adalah tafsiran Imam Malik pula ( ‘Aridathul Ahwazi, 5/240 ) . Ini juga tiada kaitan dengan MLM.

3) Iaitu contohnya berkata seorang lelaki : "Aku jual kebunku ini dengan harga RM 10,000 dengan syarat kamu jualkan rumah kamu pula dengan harga RM 15,000" . Inilah juga tafsiran ulama mazhab Hanafi, Hanbali dan Syafie. ( Al-Mughni , 6/332 ; Al-Um, 3/67 ; ‘Aridatul Ahwazi, 5/239 )

Inilah tafsiran yang saya lihat ada kaitannya dengan kebanyakkan MLM. Iaitu berkata syarikat MLM kepada seorang ahli baru sebagai contoh : "aku jual barang water filter ini dengan harga RM 2000 dengan syarat engkau jadi wakil jualanku dengan komisyen sebanyak 3 % dari harga jualanmu dan aku beri mandate kamu untuk jadi lantik ahli baru dan setiap jualannya kamu akan dapat 1 % dengan syarat kamu ada jualan sendiri sebanyak RM 1000 setiap bulan"


Lihat, dalam contoh saya tu ada berapa jenis aqad muawadah maliah yang bersifat lazim?

a- Jual barang RM 2000 - Aqad jual beli yang bersifat lazim

b- Lantik jadi wakil dengan upah (Wakalah bil Ujr) - aqad wakalah yang bersifat lazim.

c- Beri mandate untuk cari ahli - ini tiada masalah

d- Setiap ahli yang kamu lantik jual kamu layak dapat 1% - Ini ju'alah, juga kelihatan tiada masalah.

e- Kamu hanya layak dapat 1 % ju'alah tadi dengan syarat kamu ada jualan sendiri RM 1000 - Ini ada syubhat sikit syarat seperti ini. Perlu perbincangan dan ijtihad.


Cuma, secara umum kita dapat melihat bergabungnya dua aqad mu'awadat maliah (pertukaran hak milik harta) yang bersifat Lazim. Jika aqad itu ghayru Lazim maka ia diharuskan, tetapi dalam hal ini dua aqad itu adalah "aqad lazim"


4) Iaitu seorang penjual menjual dua barangan berlainan harga iaitu kasut dengan harga RM 100 dan handphone dengan harga RM 700, tetapi ia membuatnya terikat, iaitu jika anda beli handphone, maka pembelian kasut juga menjadi wajib. Inilah takrif yang dipegang oleh Al-Qadhi Ibn Al-Arabi al-Maliki ( Al-Qabas Syarah Al-Muwatta', 2/842 ; Al-Muntaqa , 5/36) .

Ini juga mempunyai sedikit kaitan dengan MLM kerana meletakkan syarat satu aqad lain sebagai syarat untuk sesuatu aqad itu boleh ‘concluded'.


5) Iaitu contohnya : Berkata penjual : " Aku jual handphone ini dengan RM 100 dengan bayaran ansuran dalam 3 bulan, dengan syarat aku akan belinya semual darimu dengan harga RM 80 tunai" . Ini adalah tafsiran Ibn Taymiah dan Ibn Qayyim pula. Ia adalah sama dengan takrif Bai Inah. ( Mukhtasar Al-Fatawa Lib Ibn taymiah, hlm 327 ; Tahzib Mukhtasar Sunan Abi Daud, Ibn Qayyim, 5/100 )

Tafsiran ini agak kurang kaitannya dengan MLM.


Demikianlah beberapa takrifan dan tafsiran ulama tentang hadith dua aqad dalam satu. Sebenarnya ada terdapat 3 lagi tafsiran, Cuma cukuplah sebagai info tambahan kepada pembaca. Oleh kerana beberapa yang dilakukan dalam MLM ada terdapat dalam salah satu tafsirannya, maka saya masukkan point dua aqad di dalam satu sebagai isu yang boleh menjadikan MLM samada haram atau batal atau syubhat.

Keputusan Majma Fiqh Sedunia ?

Kesatuan Fiqh Sedunia (Majma' Fiqh Islami) pernah mengeluarkan fatwa ke atas satu bentuk perniagaan MLM jenama PT Biznas yang disifatkan sebagai haram kerana ia adalah salah satu bentuk perjudian. Selain itu, keputusan itu juga menafikan bahawa komisyen yang digunakan adalah komisyen atau upah ‘brokerage' sebagaimana didakwa. (Rujuk keputusan nombor 3/24, 17 Julai 2003). Selain itu, Syeikh Salim Al-Hilali pernah mengeluarkan fatwa pengharaman dengan katanya : "Banyak pertanyaan berkenaan perniagaan yang diminati ramai. Yang secara umum gambarannya adalah mengikuti kaedah piramid dalam sistem pemasarannya, dengan cara setiap anggota harus mencari ahli-ahli baru dan demikian selanjutnya. Setiap anggota membayar yuran pada syarikat dengan jumlah tertentu dengan angan-angan mendapat bonus, semakin banyak anggota dan memasarkan produknya maka akan semakin banyak bonus yang dijanjikan. Sebenarnya kebanyakan anggota MLM yang menyertai cara ini adalah hasil motivasi bonus yang dijanjikan tersebut dengan harapan agar cepat kaya dalam waktu yang sesingkat mungkin, padahal ia langsung tidak menginginkan produknya. Perniagaan jenis ini adalah perjudian murni, kerana beberapa sebab berikut, iaitu:

Ø Sebenarnya anggota MLM ini tidak mahukan produknya, akan tetapi tujuan utama mereka adalah menyertai rangkaian piramid bagi mendapatkan kekayaan cepat apabila setiap ahli baru membayar yuran.

Ø Harga produk yang dibeli sebenarnya tidak sampai 30% dari wang yang dibayarkan pada syarikat MLM.

Ø Tujuan perusahaan adalah membangun jaringan individu secara berkesinambungan. Yang mana ini akan menguntungkan anggota yang berada pada level atas (Upline) sedangkan level bawah (downline) selalu memberikan nilai point pada yang berada dilevel atas mereka.


Justeru, saya kira, amat tipis untuk mencari MLM yang tidak tergolong dalam item-item salah yang saya sebutkan di atas, malah saya juga suka menyarankan agar pengamal-pengamal jualan amanah saham dan Takaful secara wakil untuk lebih berhati-hati agar tidak terjerumus dalam bab MLM. Bagaimanapun, jika anda masih ingin mendakwa halalnya MLM ini, saya sarankan agar pengamal MLM memastikan asas minima Shariah berikut dapat dipatuhi :-

1. Produk MLM ini mestilah dibeli dengan tujuan yang sebenarnya (seperti produk yang benar-benar bermanfaat dan dibangunkan dengan serius seperti ubat-ubatan berkualiti, unik dan lainnya). Justeru, produk MLM yang kabur kualiti dan kegunaannya tidaklah dibenarkan kerana ia hanyalah bertujuan untuk mengabui dalam undang-undang dan hukum Shariah, ia tiadalah halal di sisi Shariah. Justeru, kekuatan MLM itu ialah kepada produknya yang bermutu dan bukan kepada objektif jangka pendek mengumpul dana (modal).

2. Produknya bukan emas dan perak yang boleh dijual beli secara tangguh. Ini kerana penjualan barangan emas secara tangguh adalah Riba jenis Nasiah.

3. Komisyen yang diberikan kepada ahli untuk setiap penjual dan ahli bawahannya mestilah jelas. Tiada komisyen tanpa usaha, ini bermakna orang atas hanya berhak mendapat komisyen dari ahli bawahan yang dibantunya sahaja.

4. Keuntungan dan komisyen bukan berdasarkan ‘kepala' atau ahli yang ditaja, tetapi adalah berdasarkan nilai produk yang berjaya di jualnya. Ini diperlukan bagi membuktikan ia menumpukan kepada perniagaan penjualan produk dan perkhidmatan dan bukannya permainan wang (money game).

5. Tidak diwajibkan bagi si ahli menjual jumlah tertentu bagi memperolehi komsiyen dari orang bawahannya.

6. Setiap ‘upline' atau orang di sebelah atas mestilah menaruh usaha atas jualan orang bawahannya, seperti mengadakan perjumpaan taklimat, motivasi dan teknik berkempen secara terancang seperti sebuah syarikat yang pelbagai ahlinya. Ia perlu bagi melayakkannya menerima komisyen itu dari sudut Shariah, jika tidak adalah dibimbangi ia akan terjerumus kepada keraguan ‘syubhah'. Ini kerana konsep niaga dalam Islam tidak membenarkan suatu keuntungan dari sesuatu perniagaan yang diperolehi tanpa usaha. Justeru, sedikit usaha perlu dicurahkan bagi menjadi sebab haknya ke atas komisyen. Perlu diingat, kebanyakan ahli di kaki yang 10 ke bawah, mungkin tidak mengenalinya lantaran ia dilantik oleh orang bawahannya yang kesembilan. Jika tidak, apakah haknya untuk mendapat komisyen yang demikian berangkai dan begitu jauh ?.

7. Tidak menggunakan skim piramid iaitu skim siapa masuk dulu akan untung selamanya. Manakala hak mereka yang masuk kemudian akan berkurangan. Justeru, plan pemasaran mestilah memberikan hak kepada semua, malah orang bawahan mampu mendapat keuntungan lebih dari orang atasannya, apabila ia mampu menjual dengan lebih hebat.

8. Mempersembahkan system komisyen dan bonus yang telus dan boleh difahami dan dipantau oleh ahli dengan jelas. Ia bagi mengelakkan segala jenis penipuan.

9. Menstruktur plan pemasaran di anatara ahli dan orang bawahannya secara musyarakah iaitu perkonsgian untung dan rugi berdasarkan modal masing-masing dengan nisbah pembahagian keuntungan yang ditetapkan di peringkat awal lagi.



Mana MLM alternatif??

"Kalau ustaz pandai sangat, kenapa tak tuliskan sahaja macam mana MLM yang menepati Shariah tu, biar orang boleh guna" Demikian tempelak seorang pemuda tanpa kesabaran melalui sebuah web.


Jawapan saya seperti berikut :-

Pertama : Memang ramai 'suruh', 'arah' dan minta saya sebutkan macam mana MLM yang harus serta realistik.


Inilah masalah orang ramai, tidak berfikir mendalam sebelum meminta. Kita kena faham, tak semua yang perniagaan diasakan ikut cara yang menpeati Shariah itu menarik pada pandangan mata orang ramai dan boleh laku untuk dijual di Malaysia, dan tak semua pula plan dan skim atau produk yang sangat boleh dijual dan menarik itu menepati hukum Shariah. Jadinya bagi menghasilkan satu plan hebat yang menepati Shariah dan boleh jual, perbincangan dua pihak antara Ilmuan Shariah & bisnesman amat perlu dalam hal ini.


Mana mungkin sebuah plan pemasaran MLM terbaik dapat dicadangkan hanya dengan mengemukakan permintaan mudah begitu sahaja kepada saya, ini kerana mungkin saya mempunyai penyelesaian dari sudut teori Shariahnya. Teori ini pula sebahagiannya bersifat fleksible dan tidak sebahagian yang lain, kerana itu perbincangan diperlukan dengan pihak pakar pemasaran demi memastikan samada ia 'viable' untuk diperkenalkan atau tidak. Kerana saya bukanlah pakar dalam bab pemasaran.


Kedua : Saya juga bukanlah seorang jutawan yang membolehkan saya memperkenalkan plan bisnes MLM contoh yang hebat dan menepati Shariah. Mudahnya, selagi tiada bisnesman Muslim yang punyai perhatian kuat tentang halal haram dan berkesudian berbincang dengan orang Shariah, selagi tu tidak akan didapati plan dan skim MLM alternatif yang menepati Shariah.


Untuk maklumat, proses inilah yang amat kerap kami (ilmuan Shariah sedunia, saya dan rakan-rakan ustaz di semua institusi kewangan Islam seluruh dunia) ; iaitu kami duduk berjam-jam dengan pakar pemasaran, peguam untuk mencipta produk kewangan Islam yang halal serta dalam masa yang sama aqad-aqadnya juga halal dan boleh diaplikasikan di sisi undang-undang Malaysia. Kesimpulan saya, jika hanya ada satu pihak sahaja yang bersungguh, ia pasti akan menjadi hasrat yang terbengkalai juga.

Akhirnya, saya tahu bahawa hukum MLM ini masih terbuka untuk perbincangan, malah Syeikh Dr Abd Sattar Abu Ghuddah ketika perbincangan dengan beliau mengakui ini isu yang agak baru baginya. Benar, amat sukar ditemui tulisan para ulama Islam dari Timur Tengah berkenaan hal MLM ini, disebabkan MLM belum masuk ke pasaran negara Arab dengan meluas. Justeru, menjadi tanggungjawab para ilmuan Shariah Asia Tenggara untuk membantu masyarakat untuk mengetahui pandangan Shariah tentang MLM ini. Tulisan ringkas saya hanyalah pandangan awal bagi memberi peringatan bahawa dengan sekadar pandangan, kelihatan begitu banyak keraguan boleh muncul dalam perniagaan MLM ini. Tidak perlulah pembaca merasa marah dan benci dengan tulisan ini. Ini sekadar nasihat bagi mereka yang mengambil berat tentang pendapatan serta memikirkan barzakh dan akhirat mereka yang kekal abadi. Wallahu ‘alam.



Kuala Lumpur, Malaysia (14 Zulhijjah 1427 H = 4 Januari 2007)

ISLAMIC FOREX TRADING

By Dr Mohammed Obaidullah

1. The Basic Exchange Contracts

There is a general consensus among Islamic jurists on the view that currencies of different countries can be exchanged on a spot basis at a rate different from unity, since currencies of different countries are distinct entities with different values or intrinsic worth, and purchasing power. There also seems to be a general agreement among a majority of scholars on the view that currency exchange on a forward basis is not permissible, that is, when the rights and obligations of both parties relate to a future date. However, there is considerable difference of opinion among jurists when the rights of either one of the parties, which is same as obligation of the counterparty, is deferred to a future date.

To elaborate, let us consider the example of two individuals A and B who belong to two different countries, India and US respectively. A intends to sell Indian rupees and buy U.S dollars. The converse is true for B. The rupee-dollar exchange rate agreed upon is 1:20 and the transaction involves buying and selling of $50. The first situation is that A makes a spot payment of Rs1000 to B and accepts payment of $50 from B. The transaction is settled on a spot basis from both ends. Such transactions are valid and Islamically permissible. There are no two opinions about the same. The second possibility is that settlement of the transaction from both ends is deferred to a future date, say after six months from now. This implies that both A and B would make and accept payment of Rs1000 or $50, as the case may be, after six months. The predominant view is that such a contract is not Islamically permissible. A minority view considers it permissible. The third scenario is that the transaction is partly settled from one end only. For example, A makes a payment of Rs1000 now to B in lieu of a promise by B to pay $50 to him after six months. Alternatively, A accepts $50 now from B and promises to pay Rs1000 to him after six months. There are diametrically opposite views on the permissibility of such contracts which amount to bai-salam in currencies. The purpose of this paper is to present a comprehensive analysis of various arguments in support and against the permissibility of these basic contracts involving currencies. The first form of contracting involving exchange of countervalues on a spot basis is beyond any kind of controversy. Permissibility or otherwise of the second type of contract in which delivery of one of the countervalues is deferred to a future date, is generally discussed in the framework of riba prohibition. Accordingly we discuss this contract in detail in section 2 dealing with the issue of prohibition of riba. Permissibility of the third form of contract in which delivery of both the countervalues is deferred, is generally discussed within the framework of reducing risk and uncertainty or gharar involved in such contracts. This, therefore, is the central theme of section 3 which deals with the issue of gharar. Section 4 attempts a holistic view of the Sharia relates issues as also the economic significance of the basic forms of contracting in the currency market.

2. The Issue of Riba Prohibition

The divergence of views1 on the permissibility or otherwise of exchange contracts in currencies can be traced primarily to the issue of riba prohibition.

The need to eliminate riba in all forms of exchange contracts is of utmost importance. Riba in its Sharia context is generally defined2 as an unlawful gain derived from the quantitative inequality of the countervalues in any transaction purporting to effect the exchange of two or more species (anwa), which belong to the same genus (jins) and are governed by the same efficient cause (illa). Riba is generally classified into riba al-fadl (excess) and riba al-nasia (deferment) which denote an unlawful advantage by way of excess or deferment respectively. Prohibition of the former is achieved by a stipulation that the rate of exchange between the objects is unity and no gain is permissible to either party. The latter kind of riba is prohibited by disallowing deferred settlement and ensuring that the transaction is settled on the spot by both the parties. Another form of riba is called riba al-jahiliyya or pre-Islamic riba which surfaces when the lender asks the borrower on the maturity date if the latter would settle the debt or increase the same. Increase is accompanied by charging interest on the amount initially borrowed.

The prohibition of riba in the exchange of currencies belonging to different countries requires a process of analogy (qiyas). And in any such exercise involving analogy (qiyas), efficient cause (illa) plays an extremely important role. It is a common efficient cause (illa), which connects the object of the analogy with its subject, in the exercise of analogical reasoning. The appropriate efficient cause (illa) in case of exchange contracts has been variously defined by the major schools of Fiqh. This difference is reflected in the analogous reasoning for paper currencies belonging to different countries.

A question of considerable significance in the process of analogous reasoning relates to the comparison between paper currencies with gold and silver. In the early days of Islam, gold and silver performed all the functions of money (thaman). Currencies were made of gold and silver with a known intrinsic value (quantum of gold or silver contained in them). Such currencies are described as thaman haqiqi, or naqdain in Fiqh literature. These were universally acceptable as principal means of exchange, accounting for a large chunk of transactions. Many other commodities, such as, various inferior metals also served as means of exchange, but with limited acceptability. These are described as fals in Fiqh literature. These are also known as thaman istalahi because of the fact that their acceptability stems not from their intrinsic worth, but due to the status accorded by the society during a particular period of time. The above two forms of currencies have been treated very differently by early Islamic jurists from the standpoint of permissibility of contracts involving them. The issue that needs to be resolved is whether the present age paper currencies fall under the former category or the latter. One view is that these should be treated at par with thaman haqiqi or gold and silver, since these serve as the principal means of exchange and unit of account like the latter. Hence, by analogous reasoning, all the Sharia-related norms and injunctions applicable to thaman haqiqi should also be applicable to paper currency. Exchange of thaman haqiqi is known as bai-sarf, and hence, the transactions in paper currencies should be governed by the Sharia rules relevant for bai-sarf. The contrary view asserts that paper currencies should be treated in a manner similar to fals or thaman istalahi because of the fact that their face value is different from their intrinsic worth. Their acceptability stems from their legal status within the domestic country or global economic importance (as in case of US dollars, for instance).

2.1. A Synthesis of Alternative Views

2.1.1. Analogical Reasoning (Qiyas) for Riba Prohibition

The prohibition of riba is based on the tradition that the holy prophet (peace be upon him) said, "Sell gold for gold, silver for silver, wheat for wheat, barley for barley, date for date, salt for salt, in same quantities on the spot; and when the commodities are different, sell as it suits you, but on the spot." Thus, the prohibition of riba applies primarily to the two precious metals (gold and silver) and four other commodities (wheat, barley, dates and salt). It also applies, by analogy (qiyas) to all species which are governed by the same efficient cause (illa) or which belong to any one of the genera of the six objects cited in the tradition. However, there is no general agreement among the various schools of Fiqh and even scholars belonging to the same school on the definition and identification of efficient cause (illa) of riba.

For the Hanafis, efficient cause (illa) of riba has two dimensions: the exchanged articles belong to the same genus (jins); these possess weight (wazan) or measurability (kiliyya). If in a given exchange, both the elements of efficient cause (illa) are present, that is, the exchanged countervalues belong to the same genus (jins) and are all weighable or all measurable, then no gain is permissible (the exchange rate must be equal to unity) and the exchange must be on a spot basis. In case of gold and silver, the two elements of efficient cause (illa) are: unity of genus (jins) and weighability. This is also the Hanbali view according to one version3. (A different version is similar to the Shafii and Maliki view, as discussed below.) Thus, when gold is exchanged for gold, or silver is exchanged for silver, only spot transactions without any gain are permissible. It is also possible that in a given exchange, one of the two elements of efficient cause (illa) is present and the other is absent. For example, if the exchanged articles are all weighable or measurable but belong to different genus (jins) or, if the exchanged articles belong to same genus (jins) but neither is weighable nor measurable, then exchange with gain (at a rate different from unity) is permissible, but the exchange must be on a spot basis. Thus, when gold is exchanged for silver, the rate can be different from unity but no deferred settlement is permissible. If none of the two elements of efficient cause (illa) of riba are present in a given exchange, then none of the injunctions for riba prohibition apply. Exchange can take place with or without gain and both on a spot or deferred basis.

Considering the case of exchange involving paper currencies belonging to different countries, riba prohibition would require a search for efficient cause (illa). Currencies belonging to different countries are clearly distinct entities; these are legal tender within specific geographical boundaries with different intrinsic worth or purchasing power. Hence, a large majority of scholars perhaps rightly assert that there is no unity of genus (jins). Additionally, these are neither weighable nor measurable. This leads to a direct conclusion that none of the two elements of efficient cause (illa) of riba exist in such exchange. Hence, the exchange can take place free from any injunction regarding the rate of exchange and the manner of settlement. The logic underlying this position is not difficult to comprehend. The intrinsic worth of paper currencies belonging to different countries differ as these have different purchasing power. Additionally, the intrinsic value or worth of paper currencies cannot be identified or assessed unlike gold and silver which can be weighed. Hence, neither the presence of riba al-fadl (by excess), nor riba al-nasia (by deferment) can be established.

The Shafii school of Fiqh considers the efficient cause (illa) in case of gold and silver to be their property of being currency (thamaniyya) or the medium of exchange, unit of account and store of value . This is also the Maliki view. According to one version of this view, even if paper or leather is made the medium of exchange and is given the status of currency, then all the rules pertaining to naqdain, or gold and silver apply to them. Thus, according to this version, exchange involving currencies of different countries at a rate different from unity is permissible, but must be settled on a spot basis. Another version of the above two schools of thought is that the above cited efficient cause (illa) of being currency (thamaniyya) is specific to gold and silver, and cannot be generalized. That is, any other object, if used as a medium of exchange, cannot be included in their category. Hence, according to this version, the Sharia injunctions for riba prohibition are not applicable to paper currencies. Currencies belonging to different countries can be exchanged with or without gain and both on a spot or deferred basis.

Proponents of the earlier version cite the case of exchange of paper currencies belonging to the same country in defense of their version. The consensus opinion of jurists in this case is that such exchange must be without any gain or at a rate equal to unity and must be settled on a spot basis. What is the rationale underlying the above decision? If one considers the Hanafi and the first version of Hanbali position then, in this case, only one dimension of the efficient cause (illa) is present, that is, they belong to the same genus (jins). But paper currencies are neither weighable nor measurable. Hence, Hanafi law would apparently permit exchange of different quantities of the same currency on a spot basis. Similarly if the efficient cause of being currency (thamaniyya) is specific only to gold and silver, then Shafii and Maliki law would also permit the same. Needless to say, this amounts to permitting riba-based borrowing and lending. This shows that, it is the first version of the Shafii and Maliki thought which underlies the consensus decision of prohibition of gain and deferred settlement in case of exchange of currencies belonging to the same country. According to the proponents, extending this logic to exchange of currencies of different countries would imply that exchange with gain or at a rate different from unity is permissible (since there no unity of jins), but settlement must be on a spot basis.

2.1.2 Comparison between Currency Exchange and Bai-Sarf

Bai-sarf is defined in Fiqh literature as an exchange involving thaman haqiqi, defined as gold and silver, which served as the principal medium of exchange for almost all major transactions.

Proponents of the view that any exchange of currencies of different countries is same as bai-sarf argue that in the present age paper currencies have effectively and completely replaced gold and silver as the medium of exchange. Hence, by analogy, exchange involving such currencies should be governed by the same Sharia rules and injunctions as bai-sarf. It is also argued that if deferred settlement by either parties to the contract is permitted, this would open the possibilities of riba-al nasia.

Opponents of categorization of currency exchange with bai-sarf however point out that the exchange of all forms of currency (thaman) cannot be termed as bai-sarf. According to this view bai-sarf implies exchange of currencies made of gold and silver (thaman haqiqi or naqdain) alone and not of money pronounced as such by the state authorities (thaman istalahi). The present age currencies are examples of the latter kind. These scholars find support in those writings which assert that if the commodities of exchange are not gold or silver, (even if one of these is gold or silver) then, the exchange cannot be termed as bai-sarf. Nor would the stipulations regarding bai-sarf be applicable to such exchanges. According to Imam Sarakhsi4 "when an individual purchases fals or coins made out of inferior metals, such as, copper (thaman istalahi) for dirhams (thaman haqiqi) and makes a spot payment of the latter, but the seller does not have fals at that moment, then such exchange is permissible........ taking possession of commodities exchanged by both parties is not a precondition" (while in case of bai-sarf, it is.) A number of similar references exist which indicate that jurists do not classify an exchange of fals (thaman istalahi) for another fals (thaman istalahi) or gold or silver (thaman haqiqi), as bai-sarf.

Hence, the exchanges of currencies of two different countries which can only qualify as thaman istalahi can not be categorized as bai-sarf. Nor can the constraint regarding spot settlement be imposed on such transactions. It should be noted here that the definition of bai-sarf is provided Fiqh literature and there is no mention of the same in the holy traditions. The traditions mention about riba, and the sale and purchase of gold and silver (naqdain) which may be a major source of riba, is described as bai-sarf by the Islamic jurists. It should also be noted that in Fiqh literature, bai-sarf implies exchange of gold or silver only; whether these are currently being used as medium of exchange or not. Exchange involving dinars and gold ornaments, both quality as bai-sarf. Various jurists have sought to clarify this point and have defined sarf as that exchange in which both the commodities exchanged are in the nature of thaman, not necessarily thaman themselves. Hence, even when one of the commodities is processed gold (say, ornaments), such exchange is called bai-sarf.

Proponents of the view that currency exchange should be treated in a manner similar to bai-sarf also derive support from writings of eminent Islamic jurists. According to Imam Ibn Taimiya "anything that performs the functions of medium of exchange, unit of account, and store of value is called thaman, (not necessarily limited to gold & silver). Similar references are available in the writings of Imam Ghazzali5 As far as the views of Imam Sarakhshi is concerned regarding exchange involving fals, according to them, some additional points need to be taken note of. In the early days of Islam, dinars and dirhams made of gold and silver were mostly used as medium of exchange in all major transactions. Only the minor ones were settled with fals. In other words, fals did not possess the characteristics of money or thamaniyya in full and was hardly used as store of value or unit of account and was more in the nature of commodity. Hence there was no restriction on purchase of the same for gold and silver on a deferred basis. The present day currencies have all the features of thaman and are meant to be thaman only. The exchange involving currencies of different countries is same as bai-sarf with difference of jins and hence, deferred settlement would lead to riba al-nasia.

Dr Mohamed Nejatullah Siddiqui illustrates this possibility with an example6. He writes "In a given moment in time when the market rate of exchange between dollar and rupee is 1:20, if an individual purchases $50 at the rate of 1:22 (settlement of his obligation in rupees deferred to a future date), then it is highly probable that he is , in fact, borrowing Rs. 1000 now in lieu of a promise to repay Rs. 1100 on a specified later date. (Since, he can obtain Rs 1000 now, exchanging the $50 purchased on credit at spot rate)" Thus, sarf can be converted into interest-based borrowing & lending.

2.1.3 Defining Thamaniyya is the Key ?

It appears from the above synthesis of alternative views that the key issue seems to be a correct definition of thamaniyya. For instance, a fundamental question that leads to divergent positions on permissibility relates to whether thamaniyya is specific to gold and silver, or can be associated with anything that performs the functions of money. We raise some issues below which may be taken into account in any exercise in reconsideration of alternative positions.

It should be appreciated that thamaniyya may not be absolute and may vary in degrees. It is true that paper currencies have completely replaced gold and silver as medium of exchange, unit of account and store of value. In this sense, paper currencies can be said to possess thamaniyya. However, this is true for domestic currencies only and may not be true for foreign currencies. In other words, Indian rupees possess thamaniyya within the geographical boundaries of India only, and do not have any acceptability in US. These cannot be said to possess thamaniyya in US unless a US citizen can use Indian rupees as a medium of exchange, or unit of account, or store of value. In most cases such a possibility is remote. This possibility is also a function of the exchange rate mechanism in place, such as, convertibility of Indian rupees into US dollars, and whether a fixed or floating exchange rate system is in place. For example, assuming free convertibility of Indian rupees into US dollars and vice versa, and a fixed exchange rate system in which the rupee-dollar exchange rate is not expected to increase or decrease in the foreseeable future, thamaniyya of rupee in US is considerably improved. The example cited by Dr Nejatullah Siddiqui also appears quite robust under the circumstances. Permission to exchange rupees for dollars on a deferred basis (from one end, of course) at a rate different from the spot rate (official rate which is likely to remain fixed till the date of settlement) would be a clear case of interest-based borrowing and lending. However, if the assumption of fixed exchange rate is relaxed and the present system of fluctuating and volatile exchange rates is assumed to be the case, then it can be shown that the case of riba al-nasia breaks down. We rewrite his example: "In a given moment in time when the market rate of exchange between dollar and rupee is 1:20, if an individual purchases $50 at the rate of 1:22 (settlement of his obligation in rupees deferred to a future date), then it is highly probable that he is , in fact, borrowing Rs. 1000 now in lieu of a promise to repay Rs. 1100 on a specified later date. (Since, he can obtain Rs 1000 now, exchanging the $50 purchased on credit at spot rate)" This would be so, only if the currency risk is non-existent (exchange rate remains at 1:20), or is borne by the seller of dollars (buyer repays in rupees and not in dollars). If the former is true, then the seller of the dollars (lender) receives a predetermined return of ten percent when he converts Rs1100 received on the maturity date into $55 (at an exchange rate of 1:20). However, if the latter is true, then the return to the seller (or the lender) is not predetermined. It need not even be positive. For example, if the rupee-dollar exchange rate increases to 1:25, then the seller of dollar would receive only $44 (Rs 1100 converted into dollars) for his investment of $50.

Here two points are worth noting. First, when one assumes a fixed exchange rate regime, the distinction between currencies of different countries gets diluted. The situation becomes similar to exchanging pounds with sterlings (currencies belonging to the same country) at a fixed rate. Second, when one assumes a volatile exchange rate system, then just as one can visualize lending through the foreign currency market (mechanism suggested in the above example), one can also visualize lending through any other organized market (such as, for commodities or stocks.) If one replaces dollars for stocks in the above example, it would read as: "In a given moment in time when the market price of stock X is Rs 20, if an individual purchases 50 stocks at the rate of Rs 22 (settlement of his obligation in rupees deferred to a future date), then it is highly probable that he is , in fact, borrowing Rs. 1000 now in lieu of a promise to repay Rs. 1100 on a specified later date. (Since, he can obtain Rs 1000 now, exchanging the 50 stocks purchased on credit at current price)" In this case too as in the earlier example, returns to the seller of stocks may be negative if stock price rises to Rs 25 on the settlement date. Hence, just as returns in the stock market or commodity market are Islamically acceptable because of the price risk, so are returns in the currency market because of fluctuations in the prices of currencies.

A unique feature of thaman haqiqi or gold and silver is that the intrinsic worth of the currency is equal to its face value. Thus, the question of different geographical boundaries within which a given currency, such as, dinar or dirham circulates, is completely irrelevant. Gold is gold whether in country A or country B. Thus, when currency of country A made of gold is exchanged for currency of country B, also made of gold, then any deviation of the exchange rate from unity or deferment of settlement by either party cannot be permitted as it would clearly involve riba al-fadl and also riba al-nasia. However, when paper currencies of country A is exchanged for paper currency of country B, the case may be entirely different. The price risk (exchange rate risk), if positive, would eliminate any possibility of riba al-nasia in the exchange with deferred settlement. However, if price risk (exchange rate risk) is zero, then such exchange could be a source of riba al-nasia if deferred settlement is permitted7.

Another point that merits serious consideration is the possibility that certain currencies may possess thamaniyya, that is, used as a medium of exchange, unit of account, or store of value globally, within the domestic as well as foreign countries. For instance, US dollar is legal tender within US; it is also acceptable as a medium of exchange or unit of account for a large volume of transactions across the globe. Thus, this specific currency may be said to possesses thamaniyya globally, in which case, jurists may impose the relevant injunctions on exchanges involving this specific currency to prevent riba al-nasia. The fact is that when a currency possesses thamaniyya globally, then economic units using this global currency as the medium of exchange, unit of account or store of value may not be concerned about risk arising from volatility of inter-country exchange rates. At the same time, it should be recognized that a large majority of currencies do not perform the functions of money except within their national boundaries where these are legal tender.

Riba and risk cannot coexist in the same contract. The former connotes a possibility of returns with zero risk and cannot be earned through a market with positive price risk. As has been discussed above, the possibility of riba al-fadl or riba al-nasia may arise in exchange when gold or silver function as thaman; or when the exchange involves paper currencies belonging to the same country; or when the exchange involves currencies of different countries following a fixed exchange rate system. The last possibility is perhaps unIslamic8 since price or exchange rate of currencies should be allowed to fluctuate freely in line with changes in demand and supply and also because prices should reflect the intrinsic worth or purchasing power of currencies. The foreign currency markets of today are characterised by volatile exchange rates. The gains or losses made on any transaction in currencies of different countries, are justified by the risk borne by the parties to the contract.

2.1.4. Possibility of Riba with Futures and Forwards

So far, we have discussed views on the permissibility of bai salam in currencies, that is, when the obligation of only one of the parties to the exchange is deferred. What are the views of scholars on deferment of obligations of both parties ? Typical example of such contracts are forwards and futures9. According to a large majority of scholars, this is not permissible on various grounds, the most important being the element of risk and uncertainty (gharar) and the possibility of speculation of a kind which is not permissible. This is discussed in section 3. However, another ground for rejecting such contracts may be riba prohibition. In the preceding paragraph we have discussed that bai salam in currencies with fluctuating exchange rates can not be used to earn riba because of the presence of currency risk. It is possible to demonstrate that currency risk can be hedged or reduced to zero with another forward contract transacted simultaneously. And once risk is eliminated, the gain clearly would be riba.

We modify and rewrite the same example: "In a given moment in time when the market rate of exchange between dollar and rupee is 1:20, an individual purchases $50 at the rate of 1:22 (settlement of his obligation in rupees deferred to a future date), and the seller of dollars also hedges his position by entering into a forward contract to sell Rs1100 to be received on the future date at a rate of 1:20, then it is highly probable that he is , in fact, borrowing Rs. 1000 now in lieu of a promise to repay Rs. 1100 on a specified later date. (Since, he can obtain Rs 1000 now, exchanging the 50 dollars purchased on credit at spot rate)" The seller of the dollars (lender) receives a predetermined return of ten percent when he converts Rs1100 received on the maturity date into 55 dollars (at an exchange rate of 1:20) for his investment of 50 dollars irrespective of the market rate of exchange prevailing on the date of maturity.

Another simple possible way to earn riba may even involve a spot transaction and a simultaneous forward transaction. For example, the individual in the above example purchases $50 on a spot basis at the rate of 1:20 and simultaneously enters into a forward contract with the same party to sell $50 at the rate of 1:21 after one month. In effect this implies that he is lending Rs1000 now to the seller of dollars for one month and earns an interest of Rs50 (he receives Rs1050 after one month. This is a typical buy-back or repo (repurchase) transaction so common in conventional banking.10

3. The Issue of Freedom from Gharar
3.1 Defining Gharar

Gharar, unlike riba, does not have a consensus definition. In broad terms, it connotes risk and uncertainty. It is useful to view gharar as a continuum of risk and uncertainty wherein the extreme point of zero risk is the only point that is well-defined. Beyond this point, gharar becomes a variable and the gharar involved in a real life contract would lie somewhere on this continuum. Beyond a point on this continuum, risk and uncertainty or gharar becomes unacceptable11. Jurists have attempted to identify such situations involving forbidden gharar. A major factor that contributes to gharar is inadequate information (jahl) which increases uncertainty. This is when the terms of exchange, such as, price, objects of exchange, time of settlement etc. are not well-defined. Gharar is also defined in terms of settlement risk or the uncertainty surrounding delivery of the exchanged articles.

Islamic scholars have identified the conditions which make a contract uncertain to the extent that it is forbidden. Each party to the contract must be clear as to the quantity, specification, price, time, and place of delivery of the contract. A contract, say, to sell fish in the river involves uncertainty about the subject of exchange, about its delivery, and hence, not Islamically permissible. The need to eliminate any element of uncertainty inherent in a contract is underscored by a number of traditions.12

An outcome of excessive gharar or uncertainty is that it leads to the possibility of speculation of a variety which is forbidden. Speculation in its worst form, is gambling. The holy Quran and the traditions of the holy prophet explicitly prohibit gains made from games of chance which involve unearned income. The term used for gambling is maisir which literally means getting something too easily, getting a profit without working for it. Apart from pure games of chance, the holy prophet also forbade actions which generated unearned incomes without much productive efforts.13

Here it may be noted that the term speculation has different connotations. It always involves an attempt to predict the future outcome of an event. But the process may or may not be backed by collection, analysis and interpretation of relevant information. The former case is very much in conformity with Islamic rationality. An Islamic economic unit is required to assume risk after making a proper assessment of risk with the help of information. All business decisions involve speculation in this sense. It is only in the absence of information or under conditions of excessive gharar or uncertainty that speculation is akin to a game of chance and is reprehensible.

3.2 Gharar & Speculation with of Futures & Forwards

Considering the case of the basic exchange contracts highlighted in section 1, it may be noted that the third type of contract where settlement by both the parties is deferred to a future date is forbidden, according to a large majority of jurists on grounds of excessive gharar. Futures and forwards in currencies are examples of such contracts under which two parties become obliged to exchange currencies of two different countries at a known rate at the end of a known time period. For example, individuals A and B commit to exchange US dollars and Indian rupees at the rate of 1: 22 after one month. If the amount involved is $50 and A is the buyer of dollars then, the obligations of A and B are to make a payments of Rs1100 and $50 respectively at the end of one month. The contract is settled when both the parties honour their obligations on the future date.

Traditionally, an overwhelming majority of Sharia scholars have disapproved such contracts on several grounds. The prohibition applies to all such contracts where the obligations of both parties are deferred to a future date, including contracts involving exchange of currencies. An important objection is that such a contract involves sale of a non-existent object or of an object not in the possession of the seller. This objection is based on several traditions of the holy prophet.14 There is difference of opinion on whether the prohibition in the said traditions apply to foodstuffs, or perishable commodities or to all objects of sale. There is, however, a general agreement on the view that the efficient cause (illa) of the prohibition of sale of an object which the seller does not own or of sale prior to taking possession is gharar, or the possible failure to deliver the goods purchased.

Is this efficient cause (illa) present in an exchange involving future contracts in currencies of different countries ? In a market with full and free convertibility or no constraints on the supply of currencies, the probability of failure to deliver the same on the maturity date should be no cause for concern. Further, the standardized nature of futures contracts and transparent operating procedures on the organized futures markets15 is believed to minimize this probability. Some recent scholars have opined in the light of the above that futures, in general, should be permissible. According to them, the efficient cause (illa), that is, the probability of failure to deliver was quite relevant in a simple, primitive and unorganized market. It is no longer relevant in the organized futures markets of today16. Such contention, however, continues to be rejected by the majority of scholars. They underscore the fact that futures contracts almost never involve delivery by both parties. On the contrary, parties to the contract reverse the transaction and the contract is settled in price difference only. For example, in the above example, if the currency exchange rate changes to 1: 23 on the maturity date, the reverse transaction for individual A would mean selling $50 at the rate of 1:23 to individual B. This would imply A making a gain of Rs50 (the difference between Rs1150 and Rs1100). This is exactly what B would lose. It may so happen that the exchange rate would change to 1:21 in which case A would lose Rs50 which is what B would gain. This obviously is a zero-sum game in which the gain of one party is exactly equal to the loss of the other. This possibility of gains or losses (which theoretically can touch infinity) encourages economic units to speculate on the future direction of exchange rates. Since exchange rates fluctuate randomly, gains and losses are random too and the game is reduced to a game of chance. There is a vast body of literature on the forecastability of exchange rates and a large majority of empirical studies have provided supporting evidence on the futility of any attempt to make short-run predictions. Exchange rates are volatile and remain unpredictable at least for the large majority of market participants. Needless to say, any attempt to speculate in the hope of the theoretically infinite gains is, in all likelihood, a game of chance for such participants. While the gains, if they materialize, are in the nature of maisir or unearned gains, the possibility of equally massive losses do indicate a possibility of default by the loser and hence, gharar.

3.3. Risk Management in Volatile Markets

Hedging or risk reduction adds to planning and managerial efficiency. The economic justification of futures and forwards is in term of their role as a device for hedging. In the context of currency markets which are characterized by volatile rates, such contracts are believed to enable the parties to transfer and eliminate risk arising out of such fluctuations. For example, modifying the earlier example, assume that individual A is an exporter from India to US who has already sold some commodities to B, the US importer and anticipates a cashflow of $50 (which at the current market rate of 1:22 mean Rs 1100 to him) after one month. There is a possibility that US dollar may depreciate against Indian rupee during these one month, in which case A would realize less amount of rupees for his $50 ( if the new rate is 1:21, A would realize only Rs1050 ). Hence, A may enter into a forward or future contract to sell $50 at the rate of 1:21.5 at the end of one month (and thereby, realize Rs1075) with any counterparty which, in all probability, would have diametrically opposite expectations regarding future direction of exchange rates. In this case, A is able to hedge his position and at the same time, forgoes the opportunity of making a gain if his expectations do not materialize and US dollar appreciates against Indian rupee (say, to 1:23 which implies that he would have realized Rs1150, and not Rs1075 which he would realize now.) While hedging tools always improve planning and hence, performance, it should be noted that the intention of the contracting party - whether to hedge or to speculate, can never be ascertained.

It may be noted that hedging can also be accomplished with bai salam in currencies. As in the above example, exporter A anticipating a cash inflow of $50 after one month and expecting a depreciation of dollar may go for a salam sale of $50 (with his obligation to pay $50 deferred by one month.) Since he is expecting a dollar depreciation, he may agree to sell $50 at the rate of 1: 21.5. There would be an immediate cash inflow in Rs 1075 for him. The question may be, why should the counterparty pay him rupees now in lieu of a promise to be repaid in dollars after one month. As in the case of futures, the counterparty would do so for profit, if its expectations are diametrically opposite, that is, it expects dollar to appreciate. For example, if dollar appreciates to 1: 23 during the one month period, then it would receive Rs1150 for Rs 1075 it invested in the purchase of $50. Thus, while A is able to hedge its position, the counterparty is able to earn a profit on trading of currencies. The difference from the earlier scenario is that the counterparty would be more restrained in trading because of the investment required, and such trading is unlikely to take the shape of rampant speculation.

4. Summary & Conclusion
Currency markets of today are characterized by volatile exchange rates. This fact should be taken note of in any analysis of the three basic types of contracts in which the basis of distinction is the possibility of deferment of obligations to future. We have attempted an assessment of these forms of contracting in terms of the overwhelming need to eliminate any possibility of riba, minimize gharar, jahl and the possibility of speculation of a kind akin to games of chance. In a volatile market, the participants are exposed to currency risk and Islamic rationality requires that such risk should be minimized in the interest of efficiency if not reduced to zero.

It is obvious that spot settlement of the obligations of both parties would completely prohibit riba, and gharar, and minimize the possibility of speculation. However, this would also imply the absence of any technique of risk management and may involve some practical problems for the participants.

At the other extreme, if the obligations of both the parties are deferred to a future date, then such contracting, in all likelihood, would open up the possibility of infinite unearned gains and losses from what may be rightly termed for the majority of participants as games of chance. Of course, these would also enable the participants to manage risk through complete risk transfer to others and reduce risk to zero. It is this possibility of risk reduction to zero which may enable a participant to earn riba. Future is not a new form of contract. Rather the justification for proscribing it is new. If in a simple primitive economy, it was prevention of gharar relating to delivery of the exchanged article, in todays' complex financial system and organized exchanges, it is prevention of speculation of kind which is unIslamic and which is possible under excessive gharar involved in forecasting highly volatile exchange rates. Such speculation is not just a possibility, but a reality. The precise motive of an economic unit entering into a future contract - speculation or hedging may not ascertainable ( regulators may monitor end use, but such regulation may not be very practical, nor effective in a free market). Empirical evidence at a macro level, however, indicates the former to be the dominant motive.

The second type of contracting with deferment of obligations of one of the parties to a future date falls between the two extremes. While Sharia scholars have divergent views about its permissibility, our analysis reveals that there is no possibility of earning riba with this kind of contracting. The requirement of spot settlement of obligations of atleast one party imposes a natural curb on speculation, though the room for speculation is greater than under the first form of contracting. The requirement amounts to imposition of a hundred percent margin which, in all probability, would drive away the uninformed speculator from the market. This should force the speculator to be a little more sure of his expectations by being more informed. When speculation is based on information it is not only permissible, but desirable too. Bai salam would also enable the participants to manage risk. At the same time, the requirement of settlement from one end would dampen the tendency of many participants to seek a complete transfer of perceived risk and encourage them to make a realistic assessment of the actual risk. .

Notes & References
1. These diverse views are reflected in the papers presented at the Fourth Fiqh Seminar organized by the Islamic Fiqh Academy, India in 1991 which were subsequently published in Majalla Fiqh Islami, part 4 by the Academy. The discussion on riba prohibition draws on these views.

2. Nabil Saleh, Unlawful gain and Legitimate Profit in Islamic Law, Graham and Trotman, London, 1992, p.16

3. Ibn Qudama, al-Mughni, vol.4, pp.5-9

4. Shams al Din al Sarakhsi, al-Mabsut, vol 14, pp 24-25

5. Paper presented by Abdul Azim Islahi at the Fourth Fiqh Seminar organized by Islamic Fiqh Academy, India in 1991.

6. Paper by Dr M N Siddiqui highlighting the issue was circulated among all leading Fiqh scholars by the Islamic Fiqh Academy, India for their views and was the main theme of deliberations during the session on Currency Exchange at the Fourth Fiqh Seminar held in 1991.

7. It is contended by some that the above example may be modified to show the possibility of riba with spot settlement too. "In a given moment in time when the market rate of exchange between dollar and rupee is 1:20, if an individual purchases $50 at the rate of 1:22 (settlement of his obligation also on a spot basis), then it amounts to the seller of dollars exchanging $50 with $55 on a spot basis (Since, he can obtain Rs 1100 now, exchange them for $55 at spot rate of 1:20)" Thus, spot settlement can also be a clear source of riba. Does this imply that spot settlement should be proscribed too ? The fallacy in the above and earlier examples is that there is no single contract but multiple contracts of exchange occurring at different points in time (true even in the above case). Riba can be earned only when the spot rate of 1:20 is fixed during the time interval between the transactions. This assumption is, needless to say, unrealistic and if imposed artificially, perhaps unIslamic.

8. Islam envisages a free market where prices are determined by forces of demand and supply. There should be no interference in the price formation process even by the regulators. While price control and fixation is generally accepted as unIslamic, some scholars, such as, Ibn Taimiya do admit of its permissibility. However, such permissibility is subject to the condition that price fixation is intended to combat cases of market anomalies caused by impairing the conditions of free competition. If market conditions are normal, forces of demand and supply should be allowed a free play in determination of prices.

9. Some Islamic scholars use the term forward to connote a salam sale. However, we use this term in the conventional sense where the obligations of both parties are deferred to a future date and hence, are similar to futures in this sense. The latter however, are standardized contracts and are traded on an organized Futures Exchange while the former are specific to the requirements of the buyer and seller.

10. This is known as bai al inah which is considered forbidden by almost all scholars with the exception of Imam Shafii. Followers of the same school, such as Al Nawawi do not consider it Islamically permissible.

11. It should be noted that modern finance theories also distinguish between conditions of risk and uncertainty and assert that rational decision making is possible only under conditions of risk and not under conditions of uncertainty. Conditions of risk refer to a situation where it is possible with the help of available data to estimate all possible outcomes and their corresponding probabilities, or develop the ex-ante probability distribution. Under conditions of uncertainty, no such exercise is possible. The definition of gharar, Real-life situations, of course, fall somewhere in the continuum of risk and uncertainty.

12. The following traditions underscore the need to avoid contracts involving uncertainty.

Ibn Abbas reported that when Allah's prophet (pbuh) came to Medina, they were paying one and two years advance for fruits, so he said: "Those who pay in advance for any thing must do so for a specified weight and for a definite time".

It is reported on the authority of Ibn Umar that the Messenger of Allah (pbuh) forbade the transaction called habal al-habala whereby a man bought a she-camel which was to be the off-spring of a she-camel and which was still in its mother's womb.

13. According to a tradition reported by Abu Huraira, Allah's Messenger (pbuh) forbade a transaction determined by throwing stones, and the type which involves some uncertainty.

The form of gambling most popular to Arabs was gambling by casting lots by means of arrows, on the principle of lottery, for division of carcass of slaughtered animals. The carcass was divided into unequal parts and marked arrows were drawn from a bag. One received a large or small share depending on the mark on the arrow drawn. Obviously it was a pure game of chance.

14. The holy prophet is reported to have said " Do not sell what is not with you"

Ibn Abbas reported that the prophet said: "He who buys foodstuff should not sell it until he has taken possession of it." Ibn Abbas said: "I think it applies to all other things as well".

15. The Futures Exchange performs an important function of providing a guarantee for delivery by all parties to the contract. It serves as the counterparty in the exchange for both, that is, as the buyer for the sale and as the seller for the purchase.

16. M Hashim Kamali "Islamic Commercial Law: An Analysis of Futures", The American Journal of Islamic Social Sciences, vol.13, no.2, 1996

Send Your Comments to: Dr Mohammed Obaidullah, Xavier Institute of Management, Bhubaneswar 751 013, India
Mail to: obeid@ximb.stpbh.soft.net

http://www.zaharuddin.net/index.php?option=com_content&task=view&id=300&Itemid=72 (13 Jun 2007)